Oleh: #UswahCajou, Penulis dan Pengamat Media
uswatun_ch35@yahoo.co.id
BEBERAPA hari terakhir, media sosial dipenuhi beragam reaksi publik terhadap pernyataan Rocky Gerung dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) bahwa kitab suci adalah fiksi. Kita semua menjadi sibuk membuka kembali berbagai definisi kata ‘fiksi’ dan ‘fiktif’ untuk membandingkan, menyetujui, ataupun menolak pernyataan tersebut.
Sebagai muslim yang tentunya mengimani al-Qur’an sebagai kitab suci, semestinya kesibukan kita tidak berhenti hanya pada perdebatan fiksi atau realitas. Sebab iman menuntun cara kita memposisikan al-Quran menjadi final, yakni sebagai petunjuk, penjelasan dan pembeda.
ﺸَﻬْﺮُﺮَﻢَﺿَﺍﻦَﺍﻟَّﺬِﻱْٓ ﺍُﻦْﺰِﻞَﻓِﯿْﻪِﺍﻟْﻗُﺮْﺍٰﻦُﻫُﺪًﻯﻟِّﻟﻦَََّﺍﺲِﻭَﺑَﯿِّﻧٰﺖِﻣِّﻦَﺍﻟْﻬُﺪٰﻯﻭَﺍﻟْﻓُﺮْﻗََََََََﺍﻦِۚ
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah[2]:185)
Betapa istimewanya kedudukan kitab suci al-Qur’an ini. Dalam setiap aspek kehidupan padanya terdapat solusi, bukan hanya energi yang menghidupkan imajinasi. Maka sudah seharusnya setiap muslim menempatkan al-Qur’an pada kemuliaannya.
Tetapi faktanya terkadang kita hanya membaca al-Qur’an sambil terburu-buru menyelesaikannya. Bahkan tidak sempat melihat makna apalagi membayangkan kondisi yang digambarkan. Padahal kita semestinya membaca al-Qur’an untuk menjadikannya pedoman hidup, bukan sekadar bacaan sekelas novel-novel fiksi.
“Al-Qur’an adalah kitab yang menjadi pembela dan bisa diminta pembelaan, ia adalah kitab yang Mahil dan Mushaddaq. Siapa saja yang menjadikan al-Qur’an ada di depannya, maka ia akan menuntunnya ke surga. Tapi siapa saja yang menjadikan al-Qur’an di belakangnya, maka ia akan menggiringnya ke neraka.” (HR. Ibnu Hibban)
Menjadikan al-Qur’an di depannya berarti menjadikannya sebagai imam dan pedoman. Ketika akan berbuat apa pun, senantiasa melihat terlebih dahulu pada al-Qur’an yang ada di hadapannya. Sedangkan menjadikan al-Qur’an di belakangnya maksudnya adalah tidak menjadikannya sebagai pedoman hidup. Ketika ia berbuat apa pun tidak melihat dulu kepada al-Qur’an karena ada di belakangnya.
Jika memang kita memahami bahwa al-Qur’an bukanlah fiksi, lalu hendak menjadi kaum yang mana kita hari ini? Pengemban al-Qur’an yang menjadikannya penuntun dalam tiap aksi, atau cukup meletakkannya di rak buku-buku fiksi? Mengendapkan isinya di ruang imaji, atau mewujudkannya pada semua segi? Mari memohon perlindungan pada Allah swt. agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.