Oleh: Hilman Indrawan
(Founder Madrasah Pena)
LELAKI itu mengerang kesakitan. Tubuhnya ambruk di bawah lampu sorot jalan. Malam semakin bisu, terhunus oleh tajamnya waktu. Tak ada kawan, selain hanya sebuah harapan. Kini, malam semakin resah. Gelapnya mengancam keras lelaki itu dengan tegas.
Kini, tubuhnya bergetar hebat. Ia semakin yakin, bahwa sepi dan segala kebisuan di malam ini akan membunuhnya secara mengerikan. Tangannya memegang erat tiang lampu yang kini menjadi satu-satunya tempat bersandar.
“JANGAN!” teriaknya.
Lelaki itu tampak lelah, namun mulutnya terus meracau menggurui Tuhan.
“Seharusnya Kau tidak memperlakukanku seperti ini!”
Tiba-tiba pelipisnya terasa dingin, seperti ada air yang mengalir. Benar saja, ada darah yang mengalir pelan di pelipisnya. Ia semakin panik.
Lagi-lagi mulutnya menggerutu. Ia sebut nama Tuhan sebagai objek yang tertuduh.
Pongah.
Bahkan, lelaki itu semakin gemar memaki Tuhan.
“Apa-apaan ini! Apa yang Kau inginkan!”
Ia mencoba berdiri. Berjalan, menyusuri trotoar yang teramat sepi. Tak ada mobil yang melintas, apalagi manusia yang sengaja mencarinya.
Sepi.
Hanya ada sisa cahaya lampu yang fokus menyoroti tubuh keringnya. Ia seperti berada dalam pagelaran yang semua pemerannya berwatak antagonis.
Lampu di atas kepalanya laksana kamera yang terus memantau dirinya sebagai objek penderita.
Dipegangnya buku tebal berkertas buram, berharap buku itu mampu membawanya pulang ke kedamaian yang selama ini ia dapat. Ah, tapi semuanya mustahil lagi terjadi.
Buku tebal itu tak lagi berguna, tak lagi menjadi sumber uang. Isinya kini tidak dapat berbuat apa-apa. Saat dibuka, buku itu justru kini berbalik menertawakannya seolah berkata, dasar manusia bodoh!
Semua kata dan bacaan yang selama ini dibanggakan telah habis memakinya dalam ketidakberdayaan. Akhirnya matanya meleleh, seolah menyesali apa yang telah terjadi. Kini, bukan hanya tubuhnya yang roboh. Akan tetapi batinnya juga. Matanya yang hampir tertutup, dipaksa untuk fokus di depan layar masa lalu.
Satu persatu gambar dirinya muncul dengan cerita yang berbeda. Ia seperti sedang menyaksikan slide yang muncul pada screen raksasa. Akan tetapi, ini bukan slide ilmiah yang dibuat dosen ketika kuliah. Semua isinya begitu gelap dan mengerikan.
“Apa maksud semua ini?” tanyanya dalam hening.
“Aku memang keliru…,” bibirnya terasa semakin kelu saat sampai pada slide terakhir.
Kata-kata itu membunuh persepsinya selama ini. Ia seperti berada pada ujung yang tak pernah dimengerti, berada pada persimpangan dan lorong yang juga tidak ia pahami. Sesaat setelah ucapannya dilontarkan, ia dikagetkan dengan bola api raksasa yang melaju cepat menuju wajahnya. Matanya terbelalak, namun tak sampai sejengkal pun menghindar. Ia terpental jauh dan hilang.
Itulah sosok lelaki yang aku saksikan di alam mimpi. Aneh, mengapa tiba-tiba saja orang asing itu menyelinap jauh ke dalam kondisi theta kesadaranku. Ah, sudahlah lupakan saja. Itu hanya mimpi, bukan?
***
Kuisap dalam-dalam, kemudian kutahan asapnya agar kepulannya keluar dengan sensasi yang sempurna. Saat mengepul, ia membentuk cerita dan macam-macam ide. Wah! sensasinya lebih terasa saat kepulannya kuhantamkan pada ruang kosong kamarku. Asapnya melayang pelan menunggu pengisapnya menghimpun ide. Sarapan pagi yang cukup untuk melanjutkan halaman yang tadi malam aku tinggalkan.
Aku membuka lembaran baru yang siap menenggelamkan segala bentuk keraguan. Baiklah kini aku berada pada halaman kedua. Halaman kedua? Ya, buku ini benar-benar gila, baru kali ini aku dibuatnya menunda dan menghentikan bacaanku di halaman kedua. Dan itu pun sebenarnya belum benar-benar dapat aku pahami.
Berselancar di halaman kedua, aku langsung dikagetkan oleh sebuah prosa yang tidak memiliki arti. Aneh! Lantas bagaimana aku melanjutkan kalimat berikutnya, sedangkan aku belum tahu apa yang harus aku tafsirkan dari bacaan ini. Sial! Aku lagi-lagi dibuatnya berpikir lama.
Aku belum pernah membaca sampai selama ini. Biasanya aku menghabiskan novel hanya dalam waktu dua jam. Ini baru saja halaman kedua—bila dihitung dengan tadi malam, aku sudah menghabiskan waktu sekitar tiga jam.
Gila! Pengarang buku ini benar-benar berhasil membuatku geram. Tapi karena itulah aku lebih tertantang untuk terus melanjutkan membaca.
Keningku masih mengerut. Kedua alis semakin mendekat. Mataku memperkecil jumlah kedipannya. Tentunya, pikiranku terus bekerja mencari cara agar dapat membunuh si penulis.
Karya macam apa ini? Penulisnya benar-benar mengajakku berdebat. Ah, sudahlah aku lupakan prosa rumit itu. Biar nanti kutanya pada guruku yang katanya ahli dalam menafsir jutaan teka-teki.
Memasuki halaman-halaman berikutnya aku dimanjakan dengan diksi yang menohok. Ia bukan hanya memanjakkan selera bacaku, pun membuat logikaku bernyanyi mengikuti cita rasa para filsuf. Itu membuatku enggan mengedipkan mata.
Walau sempat kesal, namun aku memuji penulis buku ini. Ia berhasil meracik kata dan logika ke dalam sebuah karya. Ya, karya sastra yang padat dengan majas, kaya akan diksi, dan indah akan alur yang menggugah.
Analogi yang segar membuat pikiranku terus berjalan mengikuti apa yang penulis mau. Tapi lagi-lagi si penulis berhasil mencundangiku dengan pukulan yang telak. Aku dibuatnya terhenti.
Penulis menantangku dan semua pembaca untuk membuat duplikasi buku ini. Ia benar-benar sudah keterlaluan, berani-beraninya menantang pembaca untuk menduplikasi bukunya. Ia sudah meremehkan kemampuanku sebagai pembaca yang juga seorang penulis.
“Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan pasti tidak akan mampu,” aku melafalkan kalimat yang tertera dalam buku aneh ini.
Hah! Sudah ribuan buku aku lahap, baru kali ini aku menemukan kalimat angkuh semacam ini. Kata “pasti” itu telah mencederai kewibaanku sebagai seorang pemikir. Baiklah, aku akan terima tantangan si penulis angkuh itu.
***
Sebelum membuat buku tandingan, aku mencoba mempelajari terlebih dahulu pemilihan kata yang terdapat dalam isi buku. Kuamati setiap kata. Kuraba makna di balik majas yang menjadi salah satu keunggulan buku itu.
Tapi lagi-lagi bukan sebuah jawaban yang aku temukan, melainkan rasa kesal karena begitu sulit untuk meniru karya si penulis. Tapi aku tidak menyerah pada tantangan ini. Aku yakin, sebagai penulis, aku bisa menandingi buku yang dibuatnya.
Aku segera mencari buku tentang kritik sastra karya guruku. Argh! Aku lupa di mana buku itu disimpan. Dengan amarah yang mulai tersulut, aku mengacak-acak lemari buku satu per satu. Tidak ada! Di mana buku itu berada?
Perpustakaan pribadiku sudah kubongkar, tapi tak ada satu pun judul tentang kritik sastra aku temukan. Saat hampir menyerah, ponselku menjerit keras.
“Bro, gue mau balikin tiga buku yang gue pinjem minggu lalu,” suara nge-bass dari sebrang ponselku menggaung di dalam lubang telingaku.
Anjrit! Ternyata si botak itu yang meminjam buku kritik sastraku.
“Cepet! Gue tunggu sekarang juga!” hardikku.
Tidak lama kemudian, akhirnya aku dapat memegang buku ajaib yang ditulis guruku. Kubaca dengan teliti, mulai dari bab pertama hingga terakhir. Bagiku, ini cukup untuk membekali daya analisisku dalam menafsir buku aneh itu.
Matahari sudah tak lagi tinggi. Cahayanya mulai redup menuruti kebiasaan alam. Kini jarum jam di kamarku sudah menunjuk angka empat. Banyak yang aku lupakan. Lupa makan, lupa mandi, bahkan lupa kalau rumahku masih punya ruangan selain kamar tidur. Ya, seharian aku memenjarakan diri di dalam kamar. Yang mustahil aku lupakan hanyalah Marlboro yang sudah hampir habis dua bungkus kuenyahkan.
Masih merasa belum cukup bekal untuk menelaah, aku pun melahap dua buku lainnya yang berkaitan dengan sastra, logika, dan filsafat. Walaupun ini karya sastra, aku tetap membutuhkan buku-buku ilmiah seperti ilmu logika untuk menajamkan analisisku.
Kini hari benar-benar mulai temaram, sedang aku masih asyik menyelami pemikiran para filsuf. Berharap buku-buku pilihan yang kubaca dapat membantuku membunuh keangkuhan si penulis.
Malam telah menunjukkan pukul dua. Aku teringat malam kemarin saat aku menyerah di angka dua dan terseret pada peristiwa bawah sadar yang mengerikan. Ya, mimpi itu ada setelah kebingungan mengeraskan otak kiriku. Dan… buku itu adalah penyebabnya!
Aku mulai mengantuk. Aku putuskan untuk tidur beberapa jam. Aku harap, mimpi itu tak lagi menyapa alam mimpiku.
***
Aku terbangun di hutan yang sepi. Senyap, tak terdengar satu pun suara. Bahkan suara serangga pun tidak dapat kudengar. Tanah yang kuinjak meretak. Kakiku seperti sedang menginjak dahan yang ringkih. Saat kulihat ke bawah, tak ada sebatang pun dahan yang terinjak. Melihat ke atas, hanya terasa angin yang menerpa dengan damai.
Tapi mengapa langitnya tak seperti langit di atas rumahku? Ia tidak berwarna biru. Sulit bagiku untuk mengatakan langit yang kulihat memiliki jenis warna tertentu. Lalu saat meneruskan perjalanan, buku tebal raksasa menghantamku dengan keras.
BRUUKK!
Aaah… napasku naik-turun cepat. Tak beraturan. Aku lelah sekali. Namun perlahan napasku berangsur pelan. Aku mulai merasa tenang saat melihat poster bergambar Yesus tergantung tepat di hadapanku.
Puji Tuhan, aku sudah kembali ke kamarku. Ya, ini kamarku! Aku sudah terbebas dari hutan aneh itu.
***
Aku mulai mencoba untuk melupakan semua yang kulihat dalam mimpi. Masih banyak hal yang harus aku lakukan. Terutama menganalisis dan menerima tantangan si penulis misterius itu. Ini waktunya bekerja, membedah isi buku yang kini aku yakin dapat menafsirkannya dengan mudah.
Saat kubuka, ada perasaan aneh yang lagi-lagi menghantui. Aku dihantui bayangan-bayangan dari kedua mimpiku. Dadaku berdegup kencang. Keringat dingin mulai menjalar. Belum pernah aku alami kegelisahan sehebat ini.
Aku lupa semuanya. Aku lupa semua teori yang seharusnya aku terapkan. Aku lupa bagaimana cara menganalisis. Kata-kata dalam buku itu membuatku menjadi manusia paling aneh yang ragu terhadap diri sendiri.
Ada apa ini? aku seorang pemikir, aku tidak mungkin kesulitan menganalisis isi buku apa pun.
“Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti)tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” Rangkaian kalimat dalam buku itu kembali terngiang.
Semakin kacau. Kecamuk dalam batin mengguncang dan meruntuhkan segala rasa dan logika yang kupunya. Ini di luar kemampuanku. Ini sudah melampaui batas intuisiku. Sudah habis semua teori dan analisis yang kupunya.
Ini bukan karya yang dapat aku tafsirkan hanya dengan pandangan sastra. Aku yakin, ini bukan karya sastra. Ini bukan buku yang ditulis oleh manusia biasa. Ah, tidak! Ini bukan buah karya manusia. Aku tidak yakin ada manusia yang mampu membuat buku seperti ini.
Tapi… jika bukan manusia, lantas siapa sebenarnya pengarang buku ini? []
Cerpen ini diambil dari antologi Buku Tauhid Hasan (2016)