IRAN dan Israel. Hubungan kedua negara mulai memanas dalam dua dekade terakhir. Dan hari ini ketegangan keduanya kian memuncak dan perang seolah tampak di depan mata. Padahal kedua negara pernah menjalani masa-masa berhubungan baik, bahkan pasca Revolusi Iran 1979.
Iran dan Israel bersitegang bukan karena perebutan wilayah, melainkan lebih kepada perubahan geopolitik di Timur Tengah.
Yahudi sudah lama tinggal di Persia (sekarang Iran) selama lebih dari 2.700 tahun. Tradisi Yahudi juga menganggap wilayah Persia sebagai ‘rumah’ kedua Yahudi, terutama di masa kepemimpinan Raja Agung Sirus di abad keenam sebelum Masehi.
Selepas Israel menjajah dan menguasai Palestina pada 1948, ketika Irak memburu warga Yahudi dan mereka melarikan diri untuk tinggal di Israel, Iran menjadi tempat Yahudi transit. Orang-orang Iran melayani mereka dengan ramah.
Mengingat masa-masa ‘romantis’ Iran-Israel, dulu Iran pernah menjual minyak ke Israel di saat negara-negara kaya minyak lain tidak mau melakukannya. Negeri Mullah juga menjadi importir penting barang-barang Israel, termasuk di sektor pertanian, perumahan, kedokteran, proyek infrastruktur, dan bahkan kerja sama pelatihan intelijen bagi polisi rahasia di bawah komando Shah, Savak.
Pada 1960-an dan 1970-an, Israel bekerjasama dengan banyak kontraktor dan penasihat militer dari Teheran. Sebuah sekolah berbahasa Ibrani juga dibuka di Teheran untuk anak-anak Israel. Dan maskapai El Al beroperasi melakukan penerbangan rutin antara Tel Aviv dan Teheran.
Namun kini ketika persaingan antara Iran dengan dunia Arab dipandang sebagai konflik Syiah (dipimpin Iran) versus mayoritas Sunni (didominasi Arab Saudi). Di masa Perang Dingin, Negeri Mullah sebagai negara kaya minyak dan menguasai akses ke Teluk Persia, menjadi sekutu penting AS di Timur Tengah.
Namun di Iran sendiri kelompok muslim dan sekular saling bersitegang. Terlebih lagi pemimpin spiritual seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini meminta Iran bergabung dengan negara Arab dalam berperang melawan Israel.
Dari sudut pandang Israel, Iran termasuk dalam ‘Doktrin Batas Luar’ dari perdana menteri pertama Israel Ben Gurion. Doktrin itu menyebut Israel harus menjalin hubungan kerja sama dengan musuh dari negara Arab (yakni Iran, Turki, dan Ethiopia, termasuk Kristen Maronit di Libanon dan Kurdi di Irak).
Namun kemesraan di masa itu perlahan pudar seiring perubahan geopolitik di kawasan. Kematian Nasser pada 1970 dan naiknya Anwar Sadat membuat hubungan Mesir dengan Iran kian erat. Lebih jauh lagi, kesepakatan antara Iran dan Irak pada 1975 yang mengharuskan Iran menghentikan pasokan senjata untuk pasukan separatis Kurdi membuat kedua negara itu buat sementara waktu jadi lebih bersahabat. Sebagai dampaknya hubungan Israel dan Iran jadi menjauh.
Di dalam negeri para mullah di Iran terus mengindoktrinasi rakyat tentang segala keburukan Israel. Ketika Shah digulingkan pada Revolusi Islam 1979, dan kepemimpinan sekuler diganti oleh pemerintahan Islam yang tidak kalah mengekang, hubungan dengan Israel menjadi salah satu yang pertama kali dikorbankan. Sekembalinya Khomeini dari pengasingan di Prancis pada 1 Februari 1979, tiga pekan kemudian, pada 18 Februari, dia memutus hubungan dengan Israel. []
SUMBER: MERDEKA, HAARETZ