Oleh: Savitry ‘Icha’ Khairunnisa
Kontributor Islampos, Tinggal di Norwegia
BEBERAPA hari ini kita tersentak dengan berita pengeboman di beberapa lokasi gereja di Surabaya. Kejadian mengerikan sekaligus mengherankan yang tak pernah terdengar sebelumnya di Surabaya.
Arek Suroboyo itu, meski terkenal dengan karakternya yang “Bonek”, kasar, selalu berbicara dengan nada tinggi, dan gampang naik darah (meski tidak semua), tidak asal main bom begitu saja. Apalagi mengebom rumah ibadah, di hari ibadah umat beragama tersebut pula. Keterlaluan dan ngawur sekali itu.
Kalaupun Arek Suroboyo melakukan pengeboman, itu dulu di zaman Perang Kemerdekaan. Kejadian pengeboman mobil Brigjen Mallaby yang kemudian memicu meletusnya Perang Surabaya yang dikomandoi Bung Tomo.
Tapi pengeboman rumah ibadah apalagi melukai masyarakat sipil? Itu bukan Arek Suroboyo. Itu bukan Islam.
Sebagai orang Surabaya, saya tahu betul keadaan tanah kelahiran tercinta itu. Lihat foto ini. Lokasinya di kawasan tempat tinggal orangtua saya dulu di Pagesangan. Yang berkubah hijau itu adalah Masjid Nasional Al-Akbar. Bangunan cantik beratap cokelat di dekatnya adalah Gereja Katolik Paroki Sakramen Mahakudus.
Pemandangan seperti ini banyak di seantero Surabaya.
Gereja berdekatan dengan masjid. Kelenteng yang lokasinya nggak jauh dari Kampung Arab di Ampel, dan sebagainya.
Selama puluhan tahun, atau mungkin bisa ditarik hingga ratusan tahun ke belakang, belum pernah sekalipun terjadi gesekan antarumat beragama di Surabaya, apalagi sampai menggunakan cara kekerasan dan menyasar masyarakat secara acak seperti hari ini.
Paling banter kalau di Surabaya itu insiden carokan antarwarga etnis Madura yang memang banyak di sana.
Selebihnya, Surabaya bisa dibilang aman tenteram gemah ripah loh jinawi. Masyarakat Surabaya yang sangat heterogen bisa hidup berdampingan secara damai dan harmonis.
Maka kalau ada yang berusaha merusak ketenteraman itu, sangat terkutuklah mereka. Ingin mencoreng nama Islam yang cinta damai, mengusik kedamaian warga, menciptakan friksi antarumat beragama, dan membuat kita semakin terpecah-belah.
Dan memang saya rasakan langsung di salah satu grup Whatsapp dan di berbagai media sosial. Pagi ini pembicaraannya nggak jauh-jauh dari mengutuk perbuatan pengeboman. Sebagian merutuki tingkah sebagian umat Islam yang dipandangnya “mabuk agama”, mengomeli sebagian ulama yang menurutnya mengajak pada ekstremisme.
Dalam hal ini, maksud dan tujuan pelaku teror sudah tercapai. Masyarakat semakin terbelah. Belum lagi yang membagikan foto-foto korban penuh darah dan sebagainya. Taktik adu domba dan menebar rasa takut yang sukses.
Ayolah, jangan sampai kita terjebak terus dalam arus saling benci, saling merasa diri paling benar, dan betah untuk terus menerus berada dalam kotak dan kubu yang berlabel seperti sekarang.
Islam itu cinta damai. Ingat bagaimana Salahuddin al-Ayyubi memperlakukan dengan sangat hormat umat dan rumah ibadah Kristen dalam Perang Salib. Juga Mehmet al-Fatih yang menjaga betul kehormatan Hagia Sophia dan masyarakat Kristen Konstatinopel pada tahun 1453.
Para founding fathers Indonesia dari berbagai agamapun menunjukkan teladan yang sangat baik bagaimana bahu-membahu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah.
Tugas kita hanya menjaga dan meneruskan apa yang sudah dibangun susah payah untuk negeri ini. Membuat Indonesia maju sebagai bangsa dan jadi negara yang bisa bersaing secara global.
Dan usaha itu tidak akan berhasil bila kita tidak mau bersatu. Tidak mau kompak.
Semoga masyarakat Surabaya tetap waspada dan tak ada serangan susulan. Semoga siapapun pelaku dan otak pengeboman itu segera terungkap dan dihukum seadil-adilnya. Semoga kita masyarakat Indonesia di manapun berada tetap bersatu karena kecintaan pada tanah air.
Karena pada dasarnya orang Indonesia cinta damai dan selalu ingin hidup harmonis, tanpa memandang agama dan keyakinan hidup yang berbeda.
Salam damai. []
Haugesund, 13 Mei 2018