KITA tentu mengetahui bahwasanya perbuatan dusta merupakan salah satu perbuatan tercela. Di mana berdusta berarti kita telah menipu orang lain dan menipu diri sendiri. Hal ini tentu akan sulit dan berakibat fatal jika kebohongan yang kita buat itu terungkap. Sehingga, hasil akhirnya tentulah penyesalan.
Sebagai orang muslim berusaha bekerja di dunia untuk memenuhi kebutuhan hidup sangatlah dianjurkan. Namun, bagi seseorang yang tidak memiliki modal besar, bekerja di tempat orang lain itulah pilihannya. Sedangkan telah kita lihat, banyak tempat-tempat pekerjaan yang dimiliki oleh non muslim. Lalu, bagaimana caranya agar bisa diterima bekerja dengan mereka? Apakah harus berbohong dengan mengatakan bahwa kita satu keyakinan dengan mereka?
Hal demikian seharusnya tidak perlu kita lakukan. Karena, sesuatu yang diawali dengan dusta akan membawa petaka. Tetaplah kuatkan iman dan takwa dengan berkata apa adanya. Maka, kebahagiaan senantiasa menyertai hidup kita. Sebagaimana yang dirasakan oleh seorang muallaf berikut ini. Ia berkata jujur, hingga akhirnya dapat diterima bekerja.
Ada seorang pria berkebangsaan Eropa yang telah memeluk Islam dan baik keislamannya, jujur dalam tindakannya dan bersemangat untuk menampakkan keislamannya. Dia bangga dengan keislamannya di hadapan orang-orang kafir, tanpa ada perasaan minder, malu atau ragu. Bahkan, tanpa ada kesempatan terlewatkan, dia selalu bersemangat untuk menampakkan keislamannya itu.
(Suatu saat) dia bercerita bahwa ada sebuah iklan lowongan kerja di sebuah instansi pemerintahan yang kafir. Pria muslim yang bangga dengan keislamannya ini mengajukan lamaran untuk mendapat pekerjaan tersebut. Dan dia harus menjalani tes wawancara. Dan terjadilah persaingan untuk mendapatkan pekerjaan ini.
Saat tiba gilirannya untuk tes wawancara, panitia khusus instansi ini mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah, “Apakah Anda meminum-minuman keras?”
Dia menjawab, “Tidak, saya tidak mengonsumsinya, karena saya muslim dan agama saya melarang saya untuk mengonsumsi dan meminumnya.”
Panitia bertanya lagi, “Apakah Anda memiliki teman kencan dan pacar?”
Teman kita ini menjawab, “Tidak, karena agama islam yang saya peluk ini telah mengharamkannya. Saya hanya berhubungan dengan istri yang telah saya nikahi sesuai dengan syariat Allah SWT.”
(Wawancara pun selesai), dan dia keluar dari ruang tes, tetapi dia agak pesimis akan berhasil dalam persaingan ini. Akan tetapi (di luar dugaan), ternyata hasil akhirnya adalah bahwa semua pelamar –yang jumlahnya itu banyak- gagal, dan hanya dialah satu-satunya yang berhasil lulus dalam tes tersebut.
Kemudian dia pergi menemui ketua panitia tes itu dan mengatakan, “Tadinya, saya mengira bahwa Anda akan menghalangi saya untuk mendapatkan pekerjaan ini, sebagai balasan atas perbedaan agama antara saya dan Anda, juga karena saya memeluk Islam. Akan tetapi, saya terkejut, Anda menerima saya (dan mendahulukan saya) daripada saudara-saudara Anda dari kalangan orang-orang Kristen. Apa rahasia di balik itu?”
Ketua panitia menjawab, “Orang yang dicalonkan untuk pekerjaan ini disyaratkan harus orang yang memiliki perhatian penuh dan selalu sadar dalam setiap keadaan. Sementara orang yang mengonsumsi minuman keras tidak mungkin bisa demikian. Maka, kami mencari orang yang tidak mengonsumsi minuman keras, dan dengan memperhatikan bahwa syarat-syarat ini telah terpenuhi pada diri Anda, maka Anda terpilih untuk pekerjaan ini.”
Maka, keluarlah dia dari ruangan seraya memuji Allah, Pelindungnya, atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpakan-Nya kepadanya, serya mengulang-ulang firman Allah, “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya,” (QS. Ath-Thalaq: 2). []
Sumber: Kisah-kisah Nyata/Karya: Ibrahim bin Abdullah al-Hazimi/Penerbit: Darul Haq, Jakarta