PENDERITAAN yang dialami etnis Muslim Rohingya di Myanmar tak kunjung mereda. Bagi Dildar Begum, saat aksi pembantaian yang dilakukan para prajurit rezim Myanmar begitu membekas dalam dirinya.
Dildar berkisah bahwa tragedi pembantaian mengerikan itu tiba di pagi hari. Tentara rezim mengepung desanya. Itu adalah hari-hari sebelum liburan Idul Adha pada Agustus 2017. Kala itu Dildar dan keluarganya telah mempersiapkan pesta perayaan Idul Kurban. Dan hal itu tidak lagi terjadi. Dalam serangan berikutnya, Begum mengatakan, pasukan rezim telah menewaskan 29 anggota keluarganya.
BACA JUGA: Idul Adha di Kamp Pengungsian, Bocah Rohingya: di sini Kami Tidak Punya Uang untuk Berqurban
Kini kehidupan Dildar berubah total, setelah ia dan putrinya melarikan diri ke Bangladesh bersama ratusan ribu Muslim lainnya.
“Sudah 12 bulan saya tinggal di Bangladesh, tetapi tidak ada hari di mana saya tidak ingat keluargaku. Aku merindukan mereka setiap hari. Aku menangis setiap kali ingat mereka,” ujar Dildar.
Perkampungan besar yang penuh sesak di sebelah timur kota Bangladesh Cox’s Bazar di mana Begum sekarang tinggal adalah kamp pengungsi terbesar di dunia. Para pejabat Bangladesh telah menjelaskan bahwa pada akhirnya, mereka ingin Rohingya kembali ke Myanmar.
Dildar mengatakan setidaknya untuk dia dan putrinya, penderitaan ketika di Myanmar tidak akan terjadi.
“Saya tidak berharap mereka (rezim Myanmar) akan membiarkan kita tinggal di sini lebih lama lagi,” kata Dildar. “Namun saya lebih baik mati daripada kembali ke sana. Saya lebih suka minum racun daripada kembali ke Myanmar,” tambah Dildar.
Pada akhir Agustus tahun 2017 lalu, Begum termasuk di antara ratusan ribu Muslim Rohingya yang melarikan diri melintasi sungai cokelat berlumpur ke Bangladesh, melarikan diri dari apa yang sekarang mereka sebut sebagai “genosida.” Mereka tiba dengan catatan mengerikan tentang tentara Myanmar dan milisi pro-pemerintah menyerang desa mereka, membunuh tetangga mereka, memperkosa anak-anak mereka dan membakar rumah mereka.
Ini adalah awal dari perpindahan manusia tercepat sejak genosida Rwanda tahun 1994, yang dihasilkan dari kekerasan yang AS dan PBB sebut sebagai “pembersihan etnis.”
BACA JUGA: Sejak Agustus 2017, 24 Ribu Muslim Rohingya Gugur
Banyak pengungsi Rohingya lainnya juga mengatakan kepada NPR bahwa mereka takut pulang ke rumah. Sekarang ada hampir 900.000 orang Rohingya tinggal di kamp-kamp di Bangladesh. 700.000 yang tiba tahun lalu bergabung dengan 200.000 lainnya yang melarikan diri dari serangan kekerasan sebelumnya.
Tidak jelas berapa banyak orang Rohingya yang tinggal di Myanmar, meskipun sebelum serangan tahun lalu, sekitar satu juta orang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar barat. []
SUMBER: NPR