Oleh: Dyah Kania Pitaloka, Pengajar dan Pemerhati Remaja
DARI jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200-an juta, jumlah penduduk remaja mencapai 63 juta dan jumlah ini senantiasa akan terus bertambah karena rentang umur remaja berada diantara umur 12 tahun sampai 20 tahun-an. Rentang umur ini bukanlah rentanng umur yang statis, sehingga pasti akan terus dinamis dan meningkat seiring dengan jumlah kelahiran. Jumlah remaja yang sangat banyak ini pasti mempengaruhi Indonesia di masa depan. Masa depan Indonesia nantinya, baik atau buruk, akan dipengaruhi oleh aksi dan reaksi para remaja kini.
Semua manusia memiliki potensi yang baik, begitupun remaja Indonesia. Tak sedikit remaja Indonesia yang berprestasi. Sebut saja, Ibrahim Handoko (15), seperti dilansir oleh laman situs detiknews.com Ibrahim yang juga aktif beraktivitas di mesjid, berhasil menemukan formula matematika untuk menghitung jumlah angka piramida dengan cara yang lebih cepat dan mudah. Tak sebatas itu, di tahun 2010 Ibrahim dinominasikan sebagai salah satu kandidat penerima penghargaan peneliti remaja terbaik di Jerman.
BACA JUGA: Di Balik Challenge-challenge untuk Remaja Kita
Selain Ibrahim, masih ada lagi Jasmine Mutia Salsabila. Gadis manis asal Semarang yang masih duduk di bangku kelas VII SMP ini berhasil memukau presiden RI dan para delegasi dari luar negeri dengan pidato bahasa Inggrisnya tentang kemiskinan (kompas.com). Belum lagi, Jovita Nathania, Rosinta Handinata, serta Maria Christina Yolenta Lestari, membuat metode belajar baru soal terumbu karang secara menarik dengan memodifikasi permaian kartu uno (nationalgeographic.co.id).
Keberhasilan mereka ini membuat Consortium for Ocean Leadership—sebuah lembaga nonprofit di Washington DC yang menaungi 102 institusi riset kelautan di Amerika Serikat—mengganjar dengan penghargaan khusus sebagai salah satu proyek kepedulian kelautan terbaik, hadiah senilai USD1.000. Sebetulnya, selain anak-anak cerdas di atas masih banyak lagi anak-anak Indonesia yang berprestasi.
Sebagian remaja menonjol dengan prestasi mereka, sedangkan sebagian yang lain masih tanda tanya. Tanda tanya ini ada yang diisi dengan “prestasi” lainnya, ada pula yang masih kosong bak kertas putih menunggu tulisan yang indah. “Prestasi-prestasi” lain yang pernah diukir mungkin masih hangat dalam ingatan kita.
Di tahun kemarin, 2013, ada kejadian menggelegar dan sempat menjadi hot issue di Indonesia, video porno anak SMP. Remaja SMP dewasa ini “tumbuh” tak hanya sekadar korban asusila namun beranjak menjadi pelakunya. Ini bukanlah sebuah peningkatan. Ini adalah “tanda tanya” yang harus dijawab. Selanjutnya, kasus mucikari remaja yang sempat terkuak di beberapa kota di Indonesia.
Kampanye sekaligus praktik seks bebas sebetulnya sudah lama berlangsung dan dilakukan secara luas. Hal itu bisa dilihat dari beberapa data hasil penelitian. Misalnya, berdasarkan hasil survei Komnas Anak dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 propinsi pada tahun 2007 terungkap sebanyak 62,7 % anak SMP yang diteliti mengaku sudah tidak perawan. Sebanyak 21,2 % anak SMA yang disurvei mengaku pernah melakukan aborsi. (Media Indonesia, 19/7/08).
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2012 mengungkap, 8,3 persen remaja pria dan 0,9 persen remaja wanita mengaku pernah berhubungan seks sebelum menikah (health.detik.com). Ini menunjukkan “prestasi” pacaran dan pergaulan bebas yang tidak bisa dikatakan tidak berbahaya. Apakah selanjutnya kita bisa menggantungkan masa depan gemilang di tangan remaja ini ataukah di tangan remaja yang berprestasi?
Sebagai orang tua, kakak, keluarga, dan masyarakat yang peduli pasti kita tidak mau “prestasi” pergaulan bebas ini terus meningkat. Tapi bagaimana tidak, arus komunikasi dan informasi saat ini sangat mudah dijangkau oleh remaja, bahkan anak-anak. Mereka mendapat fasilitas yang luar biasa mudah untuk mengakses budaya asing tanpa filter. Televisi dan telepon pintar (smartphone) mudah dijamah, bahkan berada dalam genggaman tangan mereka.
Saat lahir sampai ‘baligh’, anak (remaja) bak kertas putih. Orang tua, sekolah, lingkungan dan negara-lah yang ikut memberi garis, menggambar dan mewarnai kertas putih tersebut. Anak yang sudah berbekal pola gambar dalam dirinya kemudian tumbuh dengan akal yang sempurna lalu mulai biasa dan bisa membedakan ini baik atau buruk sesuai dengan pola dalam benak pikiran mereka.
Mereka, remaja yang terukir prestasi atasnya, boleh jadi mendapat perhatian, pendidikan, arahan yang baik dari pihak keuarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Namun sebaliknya, remaja “di sisi lain” mungkin tidak. Tak bisa kita pungkiri, iklim liberalisme dan kapitalisme yang mengharuskan adanya materi dalam kehidupan, mengalihkan perhatian orang tua dalam mendidik dan membimbing anak di rumah menjadi sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan di luar rumah. Anak menjadi “dewasa” dalam dunia pendidikan atau di sekolah yang pasti hanya “membimbing” anak dalam skala prioritas pendidikan dan intelektual. Anak pun menjadi dewasa di tengah masyarakat, yang kental dengan suasana individualisme, kesibukan duniawi, juga tidak ketinggalan suasana kesenangan atau hedonisme.
Fasilitas seperti televisi dan telepon genggam pun menjadi sulit diawasi pemakaiannya. Tidaklah mungkin pihak sekolah mengawasi ratusan atau bahkan ribuan siswa remajanya setiap hari, setiap waktu. Lingkungan masyarakat pun hanya sebagai pihak luar yang tak mungkin dapat mengawasi 24 jam. Tentu pengawasan dan pembimbingan keluarga terutama orang tua adalah pilar dan benteng utama sehingga anak remaja terbiasa mempertimbangkan hal baik sesuai dengan arahan orang tua. Peran negara pun tak kalah penting dalam mengeleminasi faktor luar, terutama tayangan televisi dan laman-laman situs yang bisa diakses di internet. Sehingga tak akan lagi ada berita bahwa 43 juta anak remaja membuka situs porno (metrotvnews).
Untuk itu, mulai detik ini pengasuhan, kasih sayang, pembimbingan, dan pendidikan dari orang tua, keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, dan negara terhadap anak remaja haruslah dapat bersatu padu dan bersinkronisasi dengan baik. Sehingga, remaja tak terjebak dengan rasa “haus kasih sayang” dan tanpa arah tujuan, yang membuat remaja mencari perhatian yang kurang tepat.
Islam mengajarkan bahwa remaja senantiasa dapat produktif dan prestatif. Imam Syafi’i contohnya, sebelum menginjak usia remaja tepatnya pada usia 7 tahun beliau sudah mampu menghafal Al-Quran. Menginjak usia remaja, ia sudah ahli memanah. Tak hanya itu, beliau sudah diperbolehkan berfatwa oleh Imam Muslim, gurunya.
Keluarbiasaan yang dialami oleh Imam Syafi’i bukan dengan cara yang instan. Ibunya dengan telaten membimbingnya dan mengarahkan Syafi’i kecil untuk berlatih memanah, baca tulis, dan ilmu agama. Lingkungan masyarakat dan tempat Syafi’i muda juga senantiasa mengarahkan ilmu fiqih yang baik bagi beliau. Sehingga akhirnya beliau tumbuh menjadi seorang ahli hadits dan fiqih.
Maka, untuk memperbaiki dan menyelamatkan remaja khususnya umat di masa depan serta mengembalikan menjadi kita menjadi umat terbaik, sudah saatnya kita kembali pada tatanan kehidupan yang didasarkan pada syariah Islam. Sebab, hanya Islamlah dengan serangkaian sistemnya yang memilki aturan dan merupakan satu-satunya solusi bagi seluruh problem dan persoalan hidup manusia. Allah SWT berfirman:
“Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50).
Hanya sistem Islamlah yang akan mampu memberikan kebaikan dan kehidupan yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Allah SWT menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian” (QS al-Anfal [8]: 24).
Karena itu, marilah kita segera mematuhi seruan Allah SWT itu sebagaimana firman-Nya:
“Patuhilah seruan Tuhan kalian sebelum datang suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak pula dapat mengingkari (dosa-dosa kalian)” (QS asy-Syura [42]: 47).
Wallâhu a’lam bish-shawâb. []