Oleh: Rivi Zulmi
raheelshahlaa@gmail.com
PERCAYALAH, semua yang kuaksarakan di sini semata-mata hanya karena aku ingin kita semua menjadi pribadi lebih Islami, terlebih karena kita bukan sekadar “cowok” dan “cewek” yang ‘bebas’ bertali kasih tanpa batasan syar’i. Dapatkah kau menerka-nerka ke mana arah pembicaraan ini?
Aku cuma manusia biasa, kuharap kau tak menganggapku sok suci. Aku hanya miliki nurani, hingga aku ingin mengajakmu bersama-sama menjaga batasan syar’i dalam memanajemen fitrah yang kepada kaum Adam dan Hawa Allah karuniai. Bukan karena aku lebih baik dan pandai, ini murni hanya karena aku peduli.
Kau bukan anak kecil lagi, aku tahu itu. Mungkin detik ini di hatimu, membuncah rasa kagum, tertarik, suka, bahkan cinta pada lawan jenis yang tumbuh subur seiring bertambahnya usiamu. Ada kalanya kau bimbang, bagaimana kiranya rasa itu kau labuhkan? Tetapi tanyaku, sudahkah kau libatkan Sang Pembolak-balik Hati dalam kepelikan itu? Atau, kau justru persetan dengan urusan syari’at hingga kau hancurkan seluruh rantai batasan yang kau anggap penghambat?
BACA JUGA:Â Maaf, Ikhwan itu Pacar Saya
Kau menuntut ilmu syari’at. Kau hapal banyak ayat. Kau paham Bahasa Arab. Kau (ikhwan) mungkin berjenggot menawan, dan kau (akhwat) mungkin berhijab penuh keanggunan. Jenggot dan hijabmu, pun Bahasa Arab, hapalan ayat, serta ilmu syari’atmu, dianggap ‘alamat’ bagi masyarakat di zaman semrawut ini dalam mencari tokoh panutan. Itu artinya kau diperhatikan, termasuk bagaimana muamalahmu terhadap lawan jenismu. Pernahkah perkara ini berkelebat di benakmu?
Aku yakin kau berilmu bahwa pacaran itu manhiyyun ‘anhu -dilarang agamamu. Apa kau tahu kenapa agamamu melarang itu? Oh, jangan kau kira hanya karena ada pihak ‘penembak’ dan ada pihak ‘penerima’, lalu tersemat label ‘resmi pacaran’ lantas agama melarangnya. Bukan. Islam melarang bukan karena alasan remeh-temeh seperti itu, melainkan karena aktivitas yang ada di dalamnya menjerumuskan pelakunya ke perzinaan.
Mari kita mendetail aktivitas pacaran: saling membayangkan, saling merindukan, pandang-pandangan, teleponan, chatting-an, sms-an, gombal-gombalan, goncengan, saling ketemuan, berdua-duaan, pegang-pegangan, saling bergelayutan, bak teletubbies saling berpelukan, dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas itulah yang pada hakekatnya Allah larang, meski katamu ‘kita ga pacaran kok, orang ga ada penembak dan penerima, orang kita ga sepakat nyebut kita pacaran’, meski kau melabelinya ‘TTM’, ‘HTS’, ‘just friend’, bahkan meski kau dan dia ‘bakal-bini-dan-bakal-laki’ atau ‘udah-ta’aruf-dan-khitbah-kok-tinggal-akad-doang’. Ayolah, selama AKAD NIKAH itu belum terjadi, wahai akhi dan ukhti, semua aktivitas itu HARAM. Bukan aku sendiri, kan, yang paham? Karena aku yakin kau pun paham.
Aktivitas-aktivitas tadi, halal seluruhnya bahkan berpahala saat diawali dengan komitmen bernama akad nikah. Tapi sesal pertamaku, wahai akhi yang cerdas, apa sebab kau ‘mengencani’ putri orang, melakukan aktivitas itu bersamanya, saat kau mencipta komitmen itu saja belum bernyali? Haruskah membombardir mereka dengan tutur manis mesra yang harusnya kau tujukan hanya untuk istri halalmu kelak? Untuk apa? Kumohon kau tanyakan pada dirimu, jika nantinya putrimu diperlakukan serupa oleh pria ajnabiy, ridhakah kau sebagai ayahnya? Tidakkah kau murka?
Sesalku yang kedua, wahai ukhti yang cerdas, apa sebab kau ikhlas ‘dikencani’ dan melakukan aktivitas pacaran dengan pria yang hobinya masih bermain-main dengan boneka barbie? Duhai… Kau biarkan ia jungkir-balikkan hatimu yang absolut ‘kan pecah berkeping-keping saat dicederai meski mungkin hanya sekali. Pecahan itu, meski dipunguti dan direkat-rekati, tak akan pernah jadi utuh kembali. Renungkanlah wahai ukhti: jika nanti putrimu diperlakukan serupa; dijungkir-balikkan hatinya, dibawa terbang melayang ke angkasa sebelum akhirnya dihempaskan ke jurang terdalam tanpa ampun oleh pria ajnabiy, kau, sebagai ibu, apakah ridha? Bukankah kau ‘kan ikut terlara-lara?
Akhi, ukhti, renungkanlah. Segeralah buka mata, lantas buat pilihan sekarang juga; putuskan hubungan tak halal ini, atau putuskan untuk menikahi.
Akhi, ukhti, bukan maksudku menyudutkanmu. Bukan maksudku mengguruimu. Siapalah aku, bocah kemarin sore yang masih fakir ilmu. Maafkan aku jika kata-kataku melukaimu. Do’akan aku agar Allah memperbaiki diriku. Sekali lagi, percayalah, aku hanya ingin pribadi kita lebih Islami. Hingga jangan kau kira tulisan ini ditujukan untukmu saja, ini terlebih peringatan untukku agar aku yang menulis lebih dahulu menjadi orang yang beramal dengannya. Mari kita saling menasihati, saling mewawas diri, dan tegas menangkis godaan syaithan yang tak akan pernah mengibarkan bendera putih dalam urusan menggerayangi hati.
Kita semua saudara, sudah sewajibnya untuk saling menjaga, bukan? []