RAMALLAH—Perjanjian Oslo yang ditandatangani oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel tepat 25 tahun lalu, menurut para ahli Palestina, telah menjadi suatu “kewajiban” bagi pihak Palestina.
Para ahli Palestina dengan suara bulat setuju bahwa Israel telah gagal mematuhi ketentuan-ketentuan dari kesepakatan yang tidak menguntungkan kepentingannya.
Bilal al-Shobaki (25), seorang profesor ilmu politik di Universitas Hebron di wilayah selatan Tepi Barat, yakin bahwa hanya PA yang masih mematuhi ketentuan kesepakatan.
BACA JUGA: OKI Minta AS Batalkan Penutupan Kantor PLO di Washington
al-Shobaki mengatakan bahwa Kesepakatan Oslo pada awalnya ditujukan untuk memfasilitasi tiga pihak: Palestina, Israel dan komunitas internasional.
“Kesepakatan itu seharusnya membantu Palestina secara bertahap mendapatkan hak kenegaraan mereka,” katanya, “Tapi pada akhirnya lebih banyak melayani kepentingan Israel dengan mengurangi tanggung jawabnya sebagai kekuatan okupasi.”
Menurut al-Shobaki, perjanjian itu mengganti negara Palestina dengan PA, yang pada kenyataannya “tidak berbeda dari sekedar pemerintah lokal yang bertanggung jawab atas pelayanan publik”.
“Tujuan yang dinyatakan dalam Perjanjian Oslo adalah pembentukan negara Palestina secara bertahap, tetapi permukiman Israel yang terus berkembang dan pemisahan Tepi Barat dari pendudukan Yerusalem telah menghancurkan sebagian besar kemungkinan ini,” katanya.
BACA JUGA: AS Dilaporkan Tawarkan Bantuan 73 Triliun untuk Bujuk Palestina Kembali ke Meja Perundingan
Adapun tentang masa depan proses perdamaian Timur Tengah, al-Shobaki berpendapat, PLO harus punya opsi baru.
“PLO harus memiliki opsi baru dan membebaskan diri dari ketentuan perjanjian Oslo dengan mencari cara alternatif untuk mencapai status kenegaraan.”
Analis politik Palestina lainnya, Abdel-Majid Sweilem setuju dengan al-Shobaki.
“Israel berusaha mempertahankan ketentuan-ketentuan yang hanya menguntungkan kepentingannya sendiri,” Kata Abdel, “Kami tidak bisa lagi mematuhi perjanjian yang tidak dipenuhi Israel dan yang – bagi kami – telah menjadi sesuatu yang merugikan.”
Sweilem, mendesak pemimpin Palestina di Ramallah untuk mempertimbangkan kembali ketentuan perjanjian.
“Kami sudah menunggu selama seperempat abad,” katanya, “Perjanjian ini telah gagal membawa kita lebih dekat ke negara berdaulat kita sendiri.”
Sulaiman Bisharat, seorang peneliti Palestina di Pusat Studi Strategis Yabos, mengatakan bahwa Israel telah secara efektif menghilangkan unsur-unsur kunci dari kesepakatan Oslo.
“memungkinkannya (Israel) untuk memegang kendali total atas seluruh Tepi Barat”.
Perjanjian itu dinamai Oslo karena serangkaian pembicaraan rahasia di ibu kota Norwegia yang mengarah ke sana. Perjanjian tersebut ditandatangani di Washington pada 13 September 1993.
BACA JUGA: Presiden Palestina: Israel Telah Mengakhiri Perjanjian Oslo
Sebagai hasil dari kesepakatan itu, otoritas otonom – Otoritas Palestina (PA) – didirikan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Perjanjian Oslo membagi Tepi Barat menjadi Wilayah A, B dan C.
Wilayah A, yang mewakili 18 persen dari Tepi Barat, seharusnya berada di bawah kendali PA dalam hal keamanan dan administrasi.
WIlayah B, yang mewakili 21 persen dari Tepi Barat, seharusnya jatuh di bawah kendali administrasi PA sementara kontrol keamanan diberikan kepada Israel.
Wilayah C, yang mewakili 61 persen dari Tepi Barat, harus dijaga di bawah kendali Israel, baik dalam hal keamanan dan administrasi. []
SUMBER:ANADOULU