6. Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat
ISTRI tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar kemampuannya. Ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-Baqarah: 236, 286)
Abu bakar pernah berkata, “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.”
Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik . Islam juga menganjurkan agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. Keluarga muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan (need) di samping manfaat (utility). Sehingga hanya akan belanja apa yang dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang bermanfaat. (QS. Al-Baqarah: 172, Al-Maidah: 4, Al-A’raf: 32).
BACA JUGA: Isteriku Suka Banget Belanja
Dalam berumah tangga, suami-istri hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah agama. Sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu mendapat pahala darinya,” (Muttafaq ‘Alaih).
7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)
Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Ada tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:
a. Kebutuhan primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.
c. Kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.
Prioritas konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas hak-hak yaitu hak terhadap diri (keluarga), Allah (agama), orang lain. Orang lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan rahim, yang paling utama adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal:75)
Aplikasi aturan-aturan di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk memperhitungkan pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga kebutuhan di atas. Dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan. Sehingga rumah tangga muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian yang ditimbulkan atau sikap boros untuk hal yang bukan primer.
Islam mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan karena dapat mengundang kerusakan dan kebinasaan. Allah berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (QS. Al-Isra’: 16).
Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Firman-Nya, “Pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia,” (QS. Al-Mu’minun: 33).
Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah, “Makan, minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu berbuat kesalahan itu dua perkara, bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk,” (HR. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas).
8. Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaan
Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala hal termasuk dalam manajemen pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir atau terlalu ketat. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa, harta dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat menimbun, memonopoli dan menganggurkan harta. Kedua pola ekstrim dalam konsumsi itu memiliki mendekati sifat mubadzir.
Firman Allah, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian,” (QS. Al-Furqon: 67).
Allah juga berfirman , “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal,” (QS. Al-Isra: 29).
Selain itu, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya,” (QS. Al-Isra’: 26-27).
Sabda Rasul ﷺ, “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya,” (HR. Ahmad).
Rasul juga bersabda, “Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran,” (HR. Ahmad).
Jika pembelanjaan kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah akan memajukan usaha kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan Allah akan memberikan kelebihan hasil usaha agar kita dapat menyimpan dan menabungnya untuk menjaga datangnya hal-hal yang tidak terduga atau untuk menjaga kelangsungan hidup generasi yang akan datang. []
HABIS
Sumber: Prof Muhammad, Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Yogyakarta, yang kami kutip di pengusahamuslim.com