Suatu hari Imam Abu Hanifah didatangi perempuan yang membawa pakaian sutra. Perempuan ini berniat menjual kain mewah tersebut karena amat membutuhkan uang.
“Berapa harganya?” tanya Imam Abu Hanifah.
“Seratus dirham.”
“Tidak. Nilai barang ini lebih dari seratus dirham,” timpal Abuh Hanifah.
Menanggapi pernyataan Abu Hanifah, perempuan tersebut kaget. Biasanya seorang calon pembeli justru menawar dengan harga rendah, tetapi yang dilakukan Abu Hanifah justru sebaliknya.
Perempuan itu pun melipatgandakan harganya menjadi empat ratus dirham.
“Bagaimana kalau lebih mahal lagi?” tanya Abu Hanifah.
“Apakah Engkau bercanda?” tanya perempuan tersebut tercengang.
“Datangkanlah seseorang untuk menaksir harganya,” jawab Abu Hanifah.
Perempuan pembawa sutra tersebut lantas mendatangkan seorang laki-laki.
“Harga pakaian ini lima ratus dirham,” kata lelaki tersebut.
Imam Abu Hanifah lantas membayarnya kontan dengan harga lima ratus dirham.
Abu Hanifah sangat memahami mengapa perempuan tersebut menjual sutra itu dengan harga murah. Tiada lain dan tiada bukan karena sedang sangat membutuhkan uang.
Namun yang dilakukannya justru tidak memanfaatkan kondisi tersebut. Ia justru ingin membeli sutra tersebut dengan harga yang sepatutnya.
Karena dengan demikian, ia sudah membantu mengurangi kesulitan perempuan tersebut.
Apa yang dilakukan Imam Abu Hanifah sangat ‘menonjok’ perilaku kita sehari-hari. Biasanya, dalam hal jual beli kita sangat menginginkan harga termurah untuk mendapatkan kualitas yang setinggi-tingginya.
Bukan hanya dalam hal itu, kita juga seringkali memilih untuk berbelanja di minimarket ketimbang warung tetangga, meskipun harga di minimarket itu hanya lebih murah sekian ratus rupiah daripada di warung tetangga.
Dalam kasus lain, kita juga sering menawar harga habis-habisan kepada penjual di pasar tradisional atau kaki lima. Tetapi kita sangat berani membayar harga selangit yang ditawarkan penjual di pasar swalayan atau mall-mall atau di restoran-restoran mewah.
Apakah ada yang keliru dengan logika berpikir kita? Ataukah hati nurani kita sudah terlalu tumpul untuk hal itu?
Kisah Abu Hanifah di atas tertuang dalam kitab Mausû’atul Akhlâq waz Zuhdi war Raqâiq (juz i) karya Yasir ‘Abdur Rahman dalam sub-bab ar-Rahmah bil Muhtâjîn (berkasih sayang kepada orang-orang yang membutuhkan). []
Wallahu A’lam.