MEMBICARAKAN tentang sosok Soeharto, pikiran kita pasti akan tercabang dalam dua hal, pertama tentang enaknya hidup di masa kepemimpinannya yang apa-apa serba murah, tingkat keamanan masyarakat yang sangat terjamin, tentang kekayaan keluarga Cendana yang tak terhitung jumlahnya yang kedua tentang runtuhnya era kepemimpinan Soeharto akibat krisis moneter.
BACA JUGA: Terungkap, Soeharto Sempat Tak Punya Uang di Masa Pensiunnya
Di balik semua itu, terselip cerita tentang kisah cinta antara Pak Harto dan Bu Tien yang melegenda, namun tak banyak orang mengetahuinya.
Kisah cinta Pak Harto dan Bu Tien berawal dari sebuah perjodohan, Pak Harto yang pada saat itu berusia 26 tahun berpangkat letkol dan sedang bertugas di Jakarta.
Perjodohan itu dimulai saat dirinya didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya, pembicaraan keduanya layaknya seorang ayah dan anak.
Di Tengah-tengah pembicaraan, tiba-tiba tiba Ibu Prawiro bertanya kepada Pak Harto tentang rencana pernikahan. Namun, pertanyaan bibi sekaligus ibu angkatnya tersebut tidak begitu serius ditanggapi pak harto.
Meski tak dianggap serius oleh pak harto, Ibu Prawiro terus mendesak dan mengingatkan Pak Harto pentingnya sebuah pernikahan yang tidak boleh terhalangi oleh apapun termasuk perang.
Kemudian, desakan tersebut dibalas sebuah pertanyaan oleh Pak hHrto, “Tetapi, siapa pasangan saya? Saya balik bertanya kepada mereka. Saya tidak punya calon.”
Mendengar pertanyaan Pak Harto, Ibu Prawiro pun meminta Pak Harto agar tidak pusing dengan masalah perjodohan. Ibu Prawiro ternyata telah memiliki calon yang cocok untuk mendampingi Pak Harto.
“Kamu masih ingat dengan Siti Hartinah, teman satu kelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?” tanya Ibu Prawiro.
Sambil mengingat sosok yang dilontarkan Ibu Prawiro, Pak Harto kembali membalas dengan sebuah pertanyaan, “Tetapi, bagaimana bisa?”
Pak Harto menjelaskan ketidakyakinan dirinya untuk menjadikan Ibu Tien menjadi istrinya, alasannya yakni karena Ibu Tien putri seorang bangsawan Jawa, sedangkan Pak Harto hanyalah anak seorang petani.
“Apa dia akan mau? Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran,” ungkap Pak Harto.
Di tengah ketidakpercayadirian Pak Harto, Ibu Prawiro mencoba terus membujuknya agar tetap berbesar hati dan berjanji berjanji akan mengurus semuanya, dengan jaminan kedekatannya dengan keluarga Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, ayah dari Ibu Tien.
Setelah meyakinkan Pak Harto secara tidak disangka-sangka, keluarga KPH Soemarjomo mau menerima tawaran Ibu Prawiro yang akan menjodohkan Pak Harto dan Ibu Tien.
Setelah tawaran tersebut diterima, Akhirnya, kedua keluarga itu sepakat untuk menggelar upacara ‘nontoni’, mempertemukan antara calon pengantin pria dengan calon pengantin wanita.
“Agak kikuk juga, sebab sudah lama saya tidak melihat Hartinah dan keragu-raguan masih ada pada saya, apakah dia akan benar-benar suka kepada saya,” ujar Pak Harto.
Suasana saat prosesi ‘nontoni’ berlangsung ternyata cukup baik dan hangat. Tanpa harus menunggu lama, pertemuan itu berujung pada pembicaraan mengenai penentuan hari pernikahan.
BACA JUGA: Mogok Mengajar Kian Meluas, Pemerintah Diminta Responsif
“Ini rupanya benar-benar jodoh saya,” kata Pak Harto. Pernikahan pun dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, dalam suasana penuh kesederhanaan, karena perang tengah berkecamuk kala itu.
Saat itu Belanda masih sibuk dengan agresi-agresinya. Maka agar tidak mengundang perhatian mereka, pernikahan ini dilangsungkan sangat sederhana. Bahkan katanya pencahayaan pun dari lilin-lilin saja. Meskipun begitu, suasana pun khidmat luar biasa. Akhirnya resmi lah pernikahan keduanya, meskipun tanpa foto ataupun cerita-cerita soal mas kawin apa yang diberikan Pak Harto kepada istri tercintanya itu. []