SUATU ketika dalam perjalanan dengan kereta api eksekutif dari Surabaya menuju Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak berusia lebih dari separuh abad. Lama kami berdiam diri hingga tiba-tiba sang bapak memecah keheningan dengan pertanyaannya, “Adik masih punya orang tua?”
“Masih, tapi ayah saya telah meninggal 15 tahun lalu ketika usia saya baru 13 tahun,” jawab saya.
BACA JUGA: Surat Seorang Ibu kepada Putranya
“Beruntung kamu masih punya seorang ibu,” katanya.
“Mengapa?”
“Nanti, setiba di Jakarta, jangan temui siapapun termasuk anak istrimu.”
“Lantas saya harus menemui siapa?”
“Ibumu.”
“Apa yang harus saya lakukan terhadap ibu saya?”
“Ambil baskom, tuangkan air hangat, lalu cuci kedua kaki ibumu dengan air itu.” “Lalu apa?”
“Kamu minum air bekas cucian kaki ibumu itu.”
Saya kaget tapi sempat menyembunyikan keterkejutan supaya tidak menyinggung perasaannya.
Terus terang, awalnya saya tidak memahami apa maksud di balik ini semua, tapi akhirnya saya menyadari satu hal bahwa kesuksesan seseorang dalam menempuh suatu jalan hidup haruslah didukung oleh oleh orang yang paling dekat dengan kita. Seolah-olah hal tersebut menjadi semacam “password” untuk sukses.
Di lain kesempatan, ketika saya menyampaikan satu opini dalam sebuah seminar Leadership and Motivation di Singapura, saya berkenalan dengan seorang sahabat dari Malaysia yang baru saja menyelesaikan program doktornya. Satu hal yang menarik adalah ketika ia berbicara tentang salah satu obyek penelitiannya yang membuktikan bahwa terdapat korelasi yang sangat positif antara keberhasilan bisnis dengan kedekatan dengan ibu.
Itulah sebabnya sejak saat itu saya selalu melibatkan ibu dalam menentukan pilihan karier atau usaha. Mungkin saja dalam suatu kesempatan kita memerlukan kehadiran seorang konsultan untuk memberikan advice terhadap rencana-rencana bisnis atau karier, tapi ketahuilah mereka bekerja atas dasar touchable gain sedangkan seorang ibu adalah konsultan hidup yang berbicara atas nama untouchable gain.
Terkadang kita menjadi terlalu berlebihan dalam mengkalkulasi angka-angka tanpa memperhitungkan nilai. Padahal, angka tanpa nilai bagaikan sebuah lukisan tanpa figura. Di sekeliling kita banyak orang yang mahir berbicara, lihai dalam berekspresi, tapi tidak mampu memberikan pengaruh yang mendalam pada orang yang mendengarkannya. Sebaliknya, tidak jarang orang yang berbicara dengan penuh kesederhanaan tanpa retorika dan logika, ternyata mampu memberi bekas yang dalam bagai akar pohon yang menghunjam bumi.
BACA JUGA:
Pusat perubahan bukanlah terletak pada otak dan tubuh, tetapi pada hati. Maka ketika seseorang telah mengakrabkan dirinya dengan orang lain yang keridhaan Allah swt. tergantung pada keridhaannya, akan memberikan satu kekuatan yang dahsyat. Inilah rahasia yang terungkap dari kisah Alqomah yang mengalami kesulitan menghembuskan nafas terakhir karena sang ibu tidak meridhainya. Kalaulah sebuah kematian dapat terhalang tanpa keridhaan seorang ibu, apatah lagi sekadar bisnis atau karir. []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta