SIANG itu Umar bin Khattab menangis. Di hadapannya kini tampak berbagai jenis emas dan perak, permata dan sutra, serta berbagai jenis kekayaan duniawi lainnya dari Qadisiah dan Madain.
“Mengapa engkau menangis, wahai Amirul Mukminin? Padahal Allah Ta’ala telah memenangkan agama-Nya dan memberikan kebaikan kepada kaum Mukminin melalui kepemimpinanmu?” tanya sahabat mulia Abdurrahman bin ‘Auf yang masyhur kedermawanannya.
“Tidak, Demi Allah. Ini bukanlah kebaikan yang murni dan sejati.” Sanggah Umar. “Jika ini merupakan puncak kebaikan, maka Abu Bakar lebih berhak mendapatkanya daripada aku,” jelas ayah Hafshah beberapa saat kemudian.
“Dan jika ini merupakan puncak kebaikan, sudah pasti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lebih berhak mendapatkannya-pada masanya-daripada masa kami.” terang Umar sembari terus menangis, mengkhawatirkan capaiannya dalam memimpin kaum Muslimin.
Baca Juga: Masyaallah, Jasad Umar bin Khattab
Inilah Sayyidina Umar bin Khaththab. Inilah laki-laki berjuluk al-Faruq, yang membedakan antara kebaikan dan keburukan. Inilah laki-laki yang ditakuti setan hingga mereka mengambil jalan lain selain yang dilalui olehnya.
Di akhir kisah, dengan tetap bersimbah air mata sedih dan khawatir, sayyidina Umar bin Khaththab memuji seluruh pasukan dan panglima yang telah memenangkan jihad dan membawa harta rampasan secara utuh.
Ujarnya, “Betapa amanahnya pasukan ini. Dan betapa amanahnya pula panglimanya, Sa’ad bin Abi Waqqash.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib yang kala itu berada di dekat ‘Umar lantas menuturkan, “Semua ini lantaran engkau yang tidak menyimpan sebesit pun hasrat kekayaan dunia di hatimu. Jika ada secuil syahwat terhadap harta di hatimu, niscaya pasukan itu akan saling bunuh demi memperebutkan ghanimah ini.”[]
Sumber: Kisahhikmah.com