Oleh: Elvana Oktavia, S.Pd
Alumni S1 Universitas Negeri Surabaya
ALLAH ta’ala telah menciptakan manusia berikut dengan segala potensi yang dimilikinya. Dari potensi-potensi itulah, manusia menjalankan segala kehidupannya bergantung pada akidah serta pemahamannya.
Potensi tersebut meliputi kebutuhan jasmani dan naluri. Keduanya merupakan fitrah. Dan akan berakibat fatal pada diri manusia apabila menyalahinya. Yakni menyalahi aturan yang telah diciptakan oleh-Nya.
BACA JUGA: Shalat Bermanfaat untuk Ibu Hamil, Berbahaya bagi Wanita Haid
Menikah merupakansalah satu bentuk penyaluran dari potensi naluri, yaitu naluri melestarikan jenis (gharizatun nau’) yang benar sesuai perintah Allah. Bukan dengan pacaran, bersahabat dekat dengan lawan jenis, apalagi berzina. Tentunya, siapapun bagi yang ingin menikah, tentu harus siap dengan segala hak dan kewajibannya.
“Wahai para generasi muda , barangsiapa diantaramu sudah mampu berkeluarga, hendaknya dia menikah. Karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat mengendalikanmu“. (Muttafaqun ‘ Alaih)
Sebagai seorang muslim, terutama bagi perempuan yang telah menikah, juga harus siap menyandang status barunya sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu bagi anak-anaknya nanti.
Menjadi istri sekaligus seorang ibu, bukan sembarang amanah. Ada konsekuensi untuk mempertanggungjawabkan di ranah area yang kita kuasai ini dengan segala apa saja yang kita perbuat selama menjalani sebuah kehidupan yang baru. Maka menikah sangat dianjurkan bagi siapa saja yang telah bersiap dengan hal itu semua.
BACA JUGA: Dimana Cintaku untuk Ibu?
Ketika akhirnya Allah karuniakan calon buah hati mulai tumbuh dari rahim istri, tentu rasa syukur dan haru sekaligus menjadi sebuah ujian.
Membentuk keturunan yang berkualitas, bergantung pada bagaimana kedua orangtuanya dalam memberikan pendidikan, terutama peran ibu. Dialah penentu bagaimana arah perkembangan seorang anak. Perannya sangat besar dalam membentuk generasi peradaban. Bahkan ia telah mengupayakannya sejak sebelum, selama hingga setelah kehamilannya.
Sebagai ibu pejuang, tentunya menginginkan anaknya kelak menjadi penerus perjuangan dan mempermudah membawanya ke jalan menuju surga. Bukanlah perkara yang mudah, ada harga yang harus dibayar yakni sebuah kesabaran dan keistiqomahan dari setiap cita-cita seorang Ibu untuk berhasil mewujudkannya.
Menjadi seorang ibu seperti yang demikian harus mau menjadikan dirinya sebagai teladan. Karena anak adalah peniru ulung yang cenderung suka memperhatikan gerak-gerik orangtuanya. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus berhati-hati dalam menjaga dan mencontohkan setiap sikap serta perbuatan.
Seperti halnya Fathimah binti Ubaidillah, ia adalah ibunda salah satu dari empat Imam mahzab, yakni Imam Syafi’i. Ibu Syafi’i membesarkan anaknya seorang diri setelah kepergian suaminya yang tidak sedikitpun meninggalkan harta untuk diwarisi. Sehingga ia menghidupi diri dan anaknya dalam kondisi serba kekurangan. Hebatnya, ia sangat menjaga kehalalan nafkah yang berikan kepada Syafi’i sejak masih berada di dalam kandungan.
Sampai suatu ketika ada seorang Ibu yang mendapati Syafi’i dalam keadaan sendiri sedang menangis, dan mencoba untuk menenangkan dengan menyusuinya. Setelah Ibu Syafi’i pulang kerumah dan mengetahui hal tersebut, ia khawatir terdapat unsur haram yang masuk dalam tubuh anaknya. Dengan memasukkan jari telunjuknya kedalam mulut anaknya hingga kepangkal kerongkongan. Mengangkat tubuhnya dan kemudian mengguncang-guncang perutnya, agar termuntahkan kembali semua susu yang telah masuk ke dalam perut Syafi’i.
Maka dari itu, berhati-hatilah dalam menjaga makanan dan minuman, atau asupan apapun yang masuk dalam ke tubuh kita, karena sangat berpengaruh pada watak dan karakternya kelak.
Selain itu, perhatian Ibu Syafi’i sangat memfasilitasi anaknya untuk belajar ke tempat-tempat menuntut ilmu terbaik, bersama dengan ulama-ulama terbaik. Tidak heran Syafi’i menjadi anak yang mampu mengkhatamkan hafalan Alqur’annya dengan fasih dan mutqin, menghafal kitab Al-muwatha’ karya Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan, dan yang lainnya.
BACA JUGA: Ibu, the Invisible Power
Namun tidak bagi sistem saat ini dalam memandang peran perempuan apalagi seorang Ibu dalam mencapai cita-citanya. Perhatian mereka mencoba dialihkan ke arah yang lain. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, perempuan merupakan aset dan potensi luar biasa untuk mengurangi angka kemiskinan, mewujudkan pembangunan, perdamaian, dan keamanan. Jika mereka diberdayakan secara ekonomi dan intelektualitas, maka akan sangat efektif bagi pengembangan masyarakat dan bangsa. (www.neraca.co.id, 25/9/2018).
Dari pernyataan tersebut, justru mereka perlahan mulai dijadikan sebagai komoditi utama perekonomian bangsa. Akibatnya, karena pengaruh standar materi, banyak para Ibu beralih peran memaksakan diri menjadi pencari nafkah tambahan, sehingga tak sedikit dari mereka mengabaikan kewajibannya sebagai Ibu akibat terlau sibuk dengan pekerjaannya.Yang keliru adalah pandangan bahwa kaum ibu harus bekerja menafkahi keluarga bersama-sama. “… Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. …”. (QS. Al-Baqarah 2: 233).
Sehingga perhatian terhadap perkembangan anak berkurang, padahal pembentukan perkembangan anak sangatlah penting. Apalagi bagi seorang Ibu yang memiliki cita-cita mulia sebagaimana Ibu Imam Syafi’i.
Sedangkan kewajiban utama seorang Ibu adalah pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anaknya. Ia juga harus paham bagaimana tugas domestik dan publik yang sesuai dengan tuntunan-Nya. Selain itu, seorang Ibu juga tidak boleh meninggalkan kewajibannya yang lain sebagai seorang muslim, yang tidak hanya dilakukan oleh perempuan saja namun berlaku pula untuk laki-laki. Yakni mempelajari Islam secara Kaffah dan mendakwahkannya.
Manajemen waktu sangat diperlukan bagi siapapun yang mengemban amanah ini. Allah memberikan porsi sesuai kadar masing-masing hamba-Nya. Memang bukanlah perkara mudah di sistem saat ini menjadi Ibu yang optimal dalam membentuk generasi cemerlang. Masih ada saja faktor penghalang baik dari faktor internal dan eksternal, sehingga butuh kesungguhan dan kesabaran untuk mewujudkannya.
Yang tak kalah penting, tetap memperjuangkan segala kemampuan untuk meraih tujuan secara sempurna, sebagaimana perjuangan Rasulullah saw dan para shahabat dalam mewujudkan peradaban yang gemilang.
BACA JUGA: Firasat Sang Ibu saat Haringga Sirila Minta Izin Nonton Pertandingan Persib Vs Persija
Tentunya sebuah peradaban tersebut tidak mungkin diisi oleh orang-orang biasa, pemalas dan suka bermaksiat. Tetapi orang-orang yang berani berjuang mewujudkan peradaban masyarakat terbaik.
Hal itulah yang akan terus diwariskan pada generasi penerus nanti, yakni anak-anak kita melalui tangan-tangan Ibu yang sadar betapa pentingnya arti sebuah tujuan kehidupan. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.