“BAGAIMANA kabarmu di penjara?” tanya seorang sufi lewat sebuah surat kepada sahabatnya.
Sahabatnya menjadi tahanan sebuah kerajaan lantaran suatu kesalahan. Para sipir sekali waktu datang bersama seorang Majusi lalu merantainya secara bergandengan dengan teman sufi itu. Apesnya, si Majusi sedang didera penyakit mules. Sehingga, tiap kali si Majusi hendak buang hajat, sahabat sufi tersebut terpaksa menemani di sebelahnya. Selalu. Bau busuk yang menusuk hidung dan gerak serbaterbatas akibat rantai besi itu tentu sangat mengganggu.
Sang sufi paham dengan keadaan sahabatnya ini dan karenanya ingin memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja.
“Aku bersyukur kepada Allah,” balas surat si narapidana kepada sang sufi.
“Sampai kapan kau bersyukur? Memangnya ada yang lebih buruk dari keadaanmu sekarang?”
“Seandainya ikat pinggang si Majusi digandengkan dengan perutku tentu keadaannya akan lebih parah. Saudaraku, sebetulnya aku berhak mendapatkan hukuman lebih dari ini.”
Lanjut si narapidana, “Jika memang Tuhan mengampuniku melalui takdir semacam ini, bukankah syukur wajib kupanjatkan?”
Ia lalu menjelaskan tentang rasa takut terhadap pedihnya sanksi di neraka seandainya dirinya tak memperoleh ampunan. Demikian kisah yang tercatat dalam kitab an-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi. []
Sumber : Nu Online