Oleh: Azzam Mujahid Izzulhaq
SUATU hari, usai mengurus pemakaman jenazah Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah Umar bin Abdul Aziz pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. Tiba-tiba Abdul Malik bin Umar, putra sang khalifah, menghampirinya.
Ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah gerangan yang mendorong engkau membaringkan diri di siang hari seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz tersentak campur kaget tatkala sang putra memanggilnya dengan sebutan Amirul Mukminin, bukan ayah, sebagaimana biasanya.
Ini isyarat, bahwa putranya tengah berbicara bukan sebagai anaknya, melainkan sebagai rakyatnya yang meminta pertanggungjawaban ayahnya sebagai pemimpin negara, bukan sebagai kepala keluarga. Umar menjawab pertanyaan putranya, “Aku letih dan butuh istirahat sejenak.”
“Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak rakyat yang teraniaya?” kritik sang rakyat yang ‘kebetulan’ anaknya.
“Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin engkau hidup sampai Zhuhur jika Allah menakdirkanmu mati sekarang?” kata Abdul Malik. Mendengar ucapan anaknya itu, Umar bin Abdul Aziz semakin terperangah.
Umar bin Abdul Aziz terperangah bukan marah. Bukan pula jengah. Ia tak kemudian memerintahkan aparat keamanan menangkap sang pengkritik. Ia pun tidak meminta kepada sang pengkritik untuk menyertakan solusinya.
Ia terperangah karena takjub. Ia senang dikritik dan diingatkan oleh rakyatnya. Dengan adanya kritik, ia kembali bersemangat bekerja.
Lalu, ia memerintahkan anaknya untuk mendekat, diciumlah anak itu sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama.”
Selanjutnya, ia perintahkan juru bicara Khalifah untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat, “Barang siapa yang merasa terzhalimi oleh kebijaksanaan Khalifah, hendaknya menyampaikan keberatan dan kritiknya kepada Khalifah.”
Umar bin Abdul Aziz memimpin sebuah negara dan peradaban tidak lama, 29 bulan saja. Namun, keteladanan kepemimpinan pada masa Umar tersebut terpatri abadi dalam prasasti sejarah. Betapa selama periode kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, kehidupan masyarakat makmur dan sejahtera secara merata. Hingga pada masa itu, negara kesulitan membagikan zakat. Bukan karena tidak ada yang membayar zakat. Melainkan karena setiap rakyat sudah tidak menjadi Mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Seluruh rakyatnya sudah menjadi Muzakki (pembayar zakat), yang artinya seluruh rakyatnya adalah orang kaya semua.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah luput dari memprioritaskan Allah dalam tiap aktivitasnya. Umar merupakan orang yang paling takut kepada Allah swt. Istrinya, Fathimah binti Abdul Malik pernah berkata sepeninggal beliau: “Demi Allah, sungguh Umar bukanlah orang yang shalat dan puasanya lebih banyak daripada kalian. Tapi demi Allah, aku tak pernah melihat orang yang sangat takut pada Allah melebihi Umar”. Hal ini patut dicontoh oleh pemimpin saat ini.
Prioritasnya adalah Allah dan rakyatnya. Umar merupakan pemimpin yang sangat memperhatikan rakyatnya. Pintu istana dan rumahnya selalu terbuka untuk siapapun rakyatnya yang ingin mengadukan keluhan ataupun meminta bantuan. Istananya terbuka untuk menerima kritik dan masukan. Dan ia selalu menghadapi rakyatnya yang mengkritiknya. Tidak sekali pun Umar ‘berbalik badan’ apalagi ‘kabur ke bandara’.
Umar pun adalah pemimpin yang tegas dan adil dalam menetapkan hukum. Tajam ke atas dan tajam pula ke bawah. Ia tegas kepada siapa pun, koalisi ataupun oposisi. Ia tidak memandang bulu dalam penegakan hukum, meskipun pada pejabat, koalisi dan keluarganya sendiri.
Dengan, sebegitu hebatnya kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, ia tak minta dua periode. Ia tak sekalipun berharap dukungan melanjutkan jabatannya. Bahkan, berdoa untuk itu saja tidak. Sebaliknya, ia malah berdoa kepada Allah agar cepat disudahi masa jabatannya. Semakin lama menjabat, maka beban dan tanggung jawab di akhirat semakin berat.
Wahai yang mengaku dan digadang-gadang seperti Umar, sudahkah engkau berkaca kepada Umar? []