Oleh: Fakhri Fauzan Azhari
Mahasiswa STAI Persis Bandung Jurusan komunikasi dan penyiaran islam
“FOOTBALL is religion”. Kalimat yang menyandingkan sepak bola setara dengan sebuah agama atau keyakinan. Ada ketaatan di sana dan ada kesucian di dalamnya. Secara sosiologis mungkin kalimat sepakbola adalah agama bisa dibenarkan. Cobalah saksikan setiap akhir pekan, saat pertandingan sepakbola digelar.
Stadion-stadion sepakbola selalu ramai dipenuhi oleh penonton. Bahkan mereka yang tak sempat datang ke stadion akan memenuhi tongkrongan-tongkrongan atau tempat minum untuk menontonnya. Atau kalau tidak, menonton dari rumah masing-masing. Kalaupun tak sempat menonton, mereka akan mendengarkan radio, atau menyaksikan potongan pertandingan serta analisisnya dalam berita olahraga.
BACA JUGA: Wahai Oknum Supporter Sepakbola …
Di Indonesia sendiri ada beberapa syarat yang harus terpenuhi untuk suatu kepercayaan dapat diakui sebagai agama atau keyakinan, dan rasanya sepak bola telah memenuhi syarat tersebut. Adanya tokoh yang dapat dikultuskan, memiliki ritual peribadatan, memiliki penganut, umat, atau jama’ah. Serta tentu saja memiliki kitab atau ajaran yang diyakini dan berbeda dari agama atau keyakinan lainnya. Jika dianalogikan, pemain dan orang-orang yang terlibat dalam sepak bola adalah tokoh yang dikultuskan, Manajer sepakbola tak ubahnya penggembala umat atau nabi, pemain adalah pendeta dan pendukung adalah umat, lengkap dengan trofi, gelar, dan penghargaan sebagai mukjizat yang melengkapi.
Kemudian kitab dan ajaran yang diyakini. Sepak bola sendiri telah memiliki aturan-aturan, baik itu terlulis atau berupa norma yang telah diyakini bersama. Aturan yang mengatur baik itu tentang berjalannya sepak bola, bahkan sampai hal-hal yang menyertainya. Selayaknya agama, sepak bola dapat menyatukan banyak orang.
Namun, selayaknya agama yang memiliki penafsiran dan ajaran yang seringkali berbeda, yang membuat para penganutnya seringkali memiliki aliran atau kelompok-kelompok di dalamnya, sepak bola juga demikian. Selain memiliki ketaatan terhadap agama, para penganut seringkali memiliki ketaatan dan fanatisme pada aliran atau kelompok-kelompok tertentu. Para penggemar sebagai umat sepakbola, memiliki klub-klub kebanggaan sebagai aliran yang mereka dukung dengan berbagai alasan masing-masing. Semua atribut klub kebanggaan, puja-puja, serta semua yang mereka korbankan merupakan wujud ketaatan mereka.
Tetapi bukankah agama juga demikian. Satu agama saja seringkali mempunyai penafsiran ajaran yang berbeda, apalagi yang berbeda agama. Itulah sebabnya para penganut (satu) agama seringkali mempunyai aliran-aliran dan kelompok-kelompok di dalamnya. Di samping mempunyai ketaatan terhadap agama, mereka ini mempunyai ketaatan terhadap aliran-aliran dan kelompok ini. Coba bandingkan dengan bagaimana para penggemar sepakbola mempunyai klub-klub yang mereka dukung dengan berbagai alasan mereka sendiri.
BACA JUGA: Patut Ditiru, Ini Upaya 5 Negara di Dunia Atasi Konflik Antar Suporter Sepakbola
Ketaatan dan kesetiaan para penggemar sepakbola terhadap klub yang mereka dukung ini tak kalah dengan ketaatan para penganut agama yang taat. Dari segi materi tak jarang, para penggemar sepakbola ini menghabiskan sebagian besar uang mereka untuk menghapus dahaga ketaatan mereka.
Tentu saja tidak seperti agama yang sesungguhnya, yang juga berbicara tentang nilai-nilai transendental dan kebenaran hakiki yang dikatakan akan ditemukan setelah kematian, ukuran kebenaran hakiki sepakbola berakhir pada kemenangan dan apakah satu klub menjadi juara atau tidak. Sangat profan.
Sayangnya, seringkali fanatisme pada klub sebagai aliran mengalahkan ketaatan mereka pada sepak bola sebagai agama. Fanatisme seringkali membuat mereka merasa alirannya yang paling benar. Fanatisme yang bahkan seringkali membuat mereka berbuat dosa atau hal-hal yang sebenarnya dilarang dalam agama. Semua agama tentunya memiliki ajaran tentang kebaikan.
Fanatisme pada aliran atau kelompok tertentu terkadang membuat sebagian umat berbuat melebihi koridor yang jelas dilarang dalam agama. Di sepak bola, fanatisme pada klub tertentu seringkali membuat penggemar sebagai umat rela melakukan hal-hal yang jelas dilarang dalam sepak bola itu sendiri. Mereka menganggap klub kebanggaan sebagai aliran yang mereka percaya adalah yang paling benar. Sedangkan klub atau aliran lain adalah hal yang salah. Penggemar sebagai umat sering kali menghina, menghujat klub lain. Sama seperti umat di agama lain yang sering saling mengkafirkan hanya karena berbeda aliran.
Yang terparah, ada sebagian mereka yang tega saling menyakiti, saling melukai atau bahkan saling membunuh. Pemeluk Agama Sepak Bola tidak serta-merta bersatu. Agama Sepak Bola masih terbagi menjadi ribuan sekte yang memuja ribuan klub sepak bola yang ada. Tidak perlu contoh yang jauh, coba saja kalau Anda berani memakai kaos oranye dengan lambang Monas di dada, kemudian duduk di tengah kerumunan orang berkaos birudi Gelora Bandung Lautan Api saat Persib Bandung bertanding. Sama dengan menantang maut!
BACA JUGA: Kriminolog UI: Pengamanan Pertandingan Sepakbola Wajib Dievaluasi
Pada hakikatnya, semua agama adalah jalan kebaikan melalui semua ajarannya. Hanya saja Untuk kalian orang-orang yang memang hobi saling menyakiti bahkan saling membunuh, tolong jangan atas namakan agama untuk melakukannya. Juga di sepak bola yang dianggap sebagai agama, tidak ada tempat untuk orang-orang demikian. Orang-orang yang mengaku umat sepak bola, namun menodai sepak bola dengan segala dosa.
Kita tinggalkan sejenak Dunia Sepak Bola. Tidak dapat dipungkiri bahwa sepak bola merupakan olahraga yang melibatkan hati para penggemarnya. Tetapi, sepak bola bukan satu-satunya hal penting yang ada dalam hidup. Kita memang pemuja sepak bola, tetapi kita harus ingat apa yang dikatakan Patrick Star dalam salah satu episode Spongebob Squarepants, “Pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat.” []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.