Oleh: Jeni Magdalena Soewadi
Oleh-oleh cerita pedih dari teman yang berhasil selamat dari gempa maha dahsyat.
Bukan hoax, itu tanah menggulung-gulung seperti karpet.
Bukan hoax, itu rumah bisa terbelah dan terpisah ratusan meter.
Bukan hoax, itu mayat bergelimpangan tanpa busana.
Saat itu magrib,
BACA JUGA: Kisah Gempa Sulteng: Selamat setelah Terjebak di Masjid
Dia sedang menyuapi kedua anaknya, tahu-tahu bumi bergetar dengan sangat hebat. Dia menyadari gempa saat itu tidak wajar, dia langsung menarik anaknya keluar rumah, lari ke tanah lapang.
Namun apa langsung aman? Ternyata tanah tempatnya berdiripun retak-retak disertai suara gemuruh yang dia bingung dari mana. Yang jelas sangat mengerikan. Memang bukan air bah seperti di pesisir, namun bumi bisa saja langsung menelanmu seketika.
Dia lari ke arah jalan yang rumah kanan kirinya belum runtuh, dia simpulkan disitu lebih aman, namun apa daya gempa seperti mengejarnya. Di kanan kiri dia saksikan banyak orang menyebut kebesaran Tuhan, namun banyak juga anak-anak yang histeris menyaksikan orang tuanya tertimpa bangunan. Sangat sangat mengerikan dia saksikan. Ada seorang yang dia paksa tarik untuk ikut lari, neneknya terhimpit beton namun masih sempat teriak, “tolong bawa dia”.
Hanya bukit yang dia fokuskan dalam berlari bersama dengan 3 anak kecil.
Malam tiba, dia telah sampai di perbukitan. Disana tidak sendiri, ada belasan orang yang senasib, tanpa alas kaki, penuh luka, dan dengan tangis duka karena ada yang terpisah dan kehilangan orang yang mereka sayangi. Tiada air, tiada tikar, tiada lampu, boro-boro bawa hape, bisa bawa anak lari menyelamatkan diri sudah sangat dia syukuri.
Malam pertama tidur beralaskan rerumputan. Tidur tapi mata tidak bisa terpejam. Ya, mereka semua terguncang psikisnya. Setiap ada gempa susulan dan gemuruh, anak sulungnya selalu bertanya, “ibu, apakah kita sebentar lagi mati seperti orang2?”
Dia hanya bisa menjawab, “tidak, ayah pasti akan datang menjemput kita.”
24 jam pertama belum tercium ada bantuan masuk. Kini mereka menyadari mereka terisolir. Mau kembali, jalanpun tidak bisa dilewati lagi. Rumah sudah rata dengan tanah, pemukiman sudah lenyap.
Anak-anaknya mengeluh haus, buang air tidak bisa cebok, lapar, dingin, sakit di luka-lukanya, dan trauma yang luar biasa.
Dia berusaha jalan lagi berbondong-bondong dengan belasan orang, mencari tempat lain siapa tahu bantuan sudah datang. Anak-anak mulai dehidariasi, demam. Hanya ludah ibunya yang dioleskan supaya bibir balitanya tidak retak.
“Alhamdulilah,” sebut dia ketika bertemu dengan dua orang pemuda membawa sedus air gelas dan rerotian.
Dengan semangat mereka mendekat, namun apa yang terjadi? Segelas 5rb, rotinya juga.
Dia tengok uang di sakunya hanya ada 5rb, sambil memohon-mohon supaya anaknya saja yang dikasih. Namun dua pemuda itu tidak mengabulkan alasannya dia juga dari membeli dan tidak ada lagi untuk membeli jika itu habis, sementara bantuan belum datang.
BACA JUGA: Kisah Gempa Sulteng: Diselamatkan Adzan Maghrib
Dengan kekuatan emak, tanpa pikir panjang, dia tonjok itu pemuda. Akhirnya dibantu yang lain berhasil “merampas” air dan roti itu untuk anak-anak. Dalam hatinya tak peduli mau masuk neraka karena nonjok orang, yang ada dia harus jaga anak-anaknya dan anak-anak lain secepatnya.
Di 48 jam pertama dia masih bisa mendengar orang membuat suara-suara dari reruntuhan bangunan, namun hari ketiga suara-suara itu makin sedikit.
Entah sudah berapa kilometer jalan kaki, sampai akhirnya kemarin bisa menjangkau posko yang sudah ada bantuan tiba serta keluarga dari luar kota yang mencarinya. Satu lagi PR beratnya, anak-anak masih menanyakan keberadaan ayahnya yang saat itu belum pulang kerja. []