Oleh: Fakhri Fauzan Azhari
Mahasiswa STAIPI Bandung Jurusan Komunikasi dan penyiaran Islam
TIDAK selamanya perjalanan hidup kita itu mulus, menyenangkan dan menggembirakan. Terkadang kita harus melalui ujian berat yang menyesakkan. Tak ubahnya laksana perjalan kita di muka bumi ini, tidak selalu jalan itu lurus, halus dan berhiaskan bunga-bunga mekar yang indah, melainkan sekali-kali kita harus berjalan di atas jalan yang terjal, berhiaskan duri yang menusuk sekujur tubuh.
Kejadian yang menyesakkan itu sering kita sebut dengan musibah. Musibah melanda negeri ini secara bertubi-tubi. Masih lekang dalam ingatan kita peristiwa gempa bumi yang mengguncang Lombok pada Juli 2018 lalu. Tentu duka yang paling mendalam adalah kehilangan sanak saudara, kerabat, teman sejawat dan traumatik akan peristiwa tersebut. Bersedih sesuatu hal yang wajar karena kita memiliki hati nurani, kita memiliki empati ketika kita atau saudara kita tertimpa musibah.
BACA JUGA: Maher Zain Ungkap Duka Cita atas Musibah Gempa di Sulteng
Belum rampung penyelesaian satu musibah muncullah musibah lain. Kini rangkaian gempa bumi dengan magnitudo hingga 7,4 mengguncang Sulawesi Tengah tepatnya di Palu dan Donggala, yang menimbulkan tsunami, peristiwa tersebut terjadi pada hari jum’at 28 September 2018. Berbagai bangunan, seperti rumah, pusat perbelanjaan, hotel, rumah sakit, dan banguan lainnya rusak parah, ambruk dan tersapu gelombang. Namun kita harus mencoba memahami setiap musibah yang kita dapatkan.
Berbicara musibah dengan segala bentuknya, seperti gempa, tsunami, dan lain sebagainya, bukanlah episode pertama dari album manusia tentang kedukacitaan atas musibah dalam kehidupannya, kita tentu masih ingat bagaimana musibah dahsyat pernah terjadi bahkan sebelum Rasulullah SAW diutus untuk menyampaikan risalah kebenaran. Dalam Al-quran, diceritakan kisah-kisah umat terdahulu yang dibinasakan oleh Allah SWT karena melakukan berbagai penyimpangan yang telah dilarang.
Kaum Nabi Nuh yang mendustakan dan memperolok-oloknya, Allah mendatangkan banjir yang besar, kemudian menenggelamkan mereka yang ingkar bahkan anak dan istrinya, lalu kaum Nabi Hud didatangkan padanya angin yang dahsyat disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga mereka tertimbun pasir dan akhirnya binasa, dan yang paling mahsyur kisah kaum Nabi Luth yang berbuat maksiat menyukai dan menghalalkan hubungan sesama jenis (homoseksual dan lesbian), Allah akhirnya memberikan azab kepada mereka berupa gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu sehingga hancurlah rumah-rumah mereka.
Allah SWT berfirman: “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagianbesar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. [QS. asy Syuura : 30].
Apa yang terjadi pada saudara-saudari kita di Palu, Donggala dan beberapa tempat di Sulawesi Tengah pada hakekatnya merupakan ujian/cobaan dari kehidupan manusia di dunia. Bukankah setiap mu’min mau tidak mau, bisa tidak bisa akan melewati ujian yang nantinya akan berdampak pada satu hal yaitu apakah cobaan itu telah mampu mendewasakan keimanan dan ketaatannya kepada Sang Pencipta atau sebaliknya Ia semakin jauh dari Sang Pencipta.
Kita harus mencoba memahami setiap musibah yang kita dapatkan. Segala musibah terjadi dengan seijin Allah, musibah sendiri bila dihati orang-orang yang beriman memiliki peran yang bermanfaat dalam kehidupan. Yang pertama tentu sebagai ujian. Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh mengagumkan (sikap) orang yang beriman, dan itu tidak terjadi selain pada orang beriman. Jika ia menerima kebahagiaan ia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia menerima musibah ia bersabar, maka itu jadi kebaikan baginya”. (H.R. Muslim)
BACA JUGA: Ini 10 Kiat Menghadapi Musibah
Musibah merupakan salah satu cara Allah dalam menilai keimanan seseorang kepada takdir, karena seorang mukmin yakin bahwa segala sesuatu yang diterimanya adalah ketentuan dari Allah SWT. Allah berkehendak melakukan apapun yang dikehendakinya. Oleh karena itu ucapan seorang mu’min ketika mendapati musibah ialah “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadanya.
Kedua, sebagai peringatan bagi manusia. Dengan musibah Allah mengingatkan kita bahwa Allah berkuasa untuk melakukan apapun yang dikehendaki-Nya. Kalau selama ini kita hanya mendengar, membaca kisah banjir besar yang terjadi pada jaman Nabi Nuh, dengan peristiwa gelombang tsunami, Allah menegaskan bahwa hal itu bukan hal yang sulit untuk dipertontonkan kembali. Tidak ada Sesuatu kekuatan apapun yang dapat menghalang-halangi kehendak dan rencana Allah SWT.
Jika dalam banyak ayat Allah mengingatkan bahwa kiamat datang tiba-tiba, rasanya musibah gempa di Palu kemarin telah membuktikan hal itu. Peristiwa itu juga menjadi peringatan bahwa kita, manusia, tidak memiliki apa-apa. Ketika gempa kemarin menimpa bangsa ini kita cukup menyadari bahwa kita semakin kecil dihadapan-Nya. Jika diri, anak, istri, sanak family adalah miliki kita, mengapa kita tidak bisa mempertahankan kehidupan mereka? Jika ladang, rumah, kendaraan adalah milik kita, mengapa kita tidak dapat mempertahankannya? Ternyata kita tidak punya apa-apa, kita begitu kecil dihadapan-Nya, bahkan untuk menolak apa yang tidak kita sukai pun kita tidak mampu.
Musibah yang terjadi juga harus menjadi pemantik kesadaran kita untuk berbenah iman dan takwa, meluruskan dan memurnikan ibadah dengan sebaik-baiknya, berlaku adil pada sesama serta jujur pada dosa dan kemaksiatan yang dilakukan terang-terangan maupun secara tersembunyi. Seorang mu’min yakin bahwa bukan hanya faktor fisik alam yang sudah tua, akan tetapi juga adalah pelaku alam itu sendiri; manusia. Muhasabah atas kemaksiatan dan dosa-dosa anggota tubuh dari kepala hingga kaki, apa yang pernah dan masih dilakukan.
Di lain sisi, gempa yang terjadi di Palu, Donggala, dan beberapa tempat di Sulawesi Tengah akan menguraikan satu makna, tentang peduli kepada sesama atas dasar kemanusiaan, inilah yang kita kenal dengan istilah ukhuwah islamiyah. Setiap muslim yang dirundung duka dan ujian maka sepantasnyalah muslim lainnya turut meringankan beban pikiran dan kesedihannya. Saling mengenal (ta’aruf), saling memahami keadaannya (tafahum), saling menlong (ta’awun), dan mendahulukan kepentingan saudara (itsar).
Inilah yang tengah dan harus selalu dilakukan dari ujian yang menimpa saudara kita di Palu dan Donggala. Membangun kesepahaman, turut merasakan kesusahan yang mereka alami hingga kita mencoba untuk menolong mereka. Maka kedukaan yang mereka hadapi saat ini paling tidak akan sedikit berkurang karena kasih sayang dan perhatian kita yang tulus kepadanya. Sebab musibah di Palu adalah musibah kita semua. Wallahu a’lam bis shawab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.