Oleh: Kayyis Hawari
PERNAH ada dalam sejarah seorang pemuda yang berkata, “andaikata sepertiga Mesir diberikan kepadaku aku tak akan berangkat!” Tidak cukup disitu, bahkan dengan sangat ketakutan saat dipaksa berangkat berperang, dia berucap, “Sungguh seakan aku digiring ke tempat jagal”. Tapi, diakhir hayat, kalimat-kalimat ketakutan dan keengganan seakan hilang begitu saja, lenyap tak bersisa.
Pemuda itu bernama Yusuf, dikubur bersama debu-debu yang menempel pada jubah perangnya. Kelak kita kenal sebagai pembebas Palestina. Ya, ia memiliki nama Yusuf atau sekarang terkenal sebagai Shalahuddin al Ayyubi.
BACA JUGA: Kisah Tragis Perempuan Rohingya: Diikat ke Pohon dan Dirudapaksa “Berantai” oleh Militer Myanmar
Push Yourself. Paksa dirimu sendiri. Dalam hidup, ada beberapa potongan episode yang mau tidak mau memaksa kita melakukan hal lebih dari sebelumnya. Layaknya Shalahuddin, kita pun perlu memaknai bahkan melakukan pemaksaan dalam diri kita sendiri.
Dipaksa tidak baik? Kata siapa? Nyatanya, diri kita telah Allah ciptakan dengan sebaik-baik penciptaan untuk melakukan sebaik-baik amalam. Maka, dengan tegas, seharusnya apa yang ada pada diri kita bisa kita maksimalkan. Diri kita harus kita paksakan.
Memaksa diri kita untuk berkembang adalah suatu kebaikan. Karena merupakan sebuah usaha kita untuk memaksimalkan apa yang telah Allah beri. Lebih dari itu, memaksa diri menjadi wujud syukur bagi kita sebagai manusia untuk melakukan amalan terbaik yang kita punya.
BACA JUGA: Ustaz Firanda: Rasulullah Tidak Pernah Paksa Orang Masuk Islam
Memaksa diri, Allah sebut dalam qur’an dengan kalimat mastatho’tum. Memang asal kalimat tersebut berarti semampu kalian, namun sebagaimana telah dijelaskan di awal, bahwa kita diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan, maka semampu kalian adalah semampu apa yang telah Allah beri kepada kita. Mari belajar makna kalimat ini pada seorang guru, bernama Abdullah Azzam.
Saat dalam agenda berkemah, beliau dan teman temanya diperintahkan untuk berlari mengelilingi lapangan. 1 kali putaran, 2 kali hingga satu persatu teman temannya berhenti, beliau masih berlari. Sampai entah putaran keberapa, beliau jatuh pingsan, maka dengan heran, teman temannya bertanya, “Mengapa engkau berlari hingga pingsan?” Simak dan perhatikan jawaban dari beliau, “Aku mengartikan semampu kalian itu, sampai benar benar aku tak mampu lagi melakukan itu”.
Terakhir, mari kita ingat salah satu perkataan dari Tan Malaka,”Terbentur,terbentur,terbentuk.” []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.