DICUKUPKANNYA dengan ucapan laa ilaaha illallah karena pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, disamping itu agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.
Sebagian ulama berpendapat agar menalkinkan dua kalimat syahadat, karena kalimat kedua (Nabi Muhammad SAW) mengikuti kalimat pertama.
Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadits.
BACA JUGA: Mengingat Kembali Kematian
Seyogyanya, dalam menalkinkan kalimat tersebut jangan diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata kepadanya: “Ucapkanlah laa ilaaha illallah,” karena dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa jenuh, lalu ia mengatakan, “Saya tidak mau mengucapkannya,” atau bahkan mengucapkan perkataan lain yang tidak layak.
Hendaklah kalimat ini diucapkan kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya .
Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan: “Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah.”
Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali, maka hal itu sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan perkataan lain sesudah itu, maka perlu diulang menalkinnya dengan lemah lembut dan dengan cara persuasif (membujuknya agar mau mengucapkannya), karena kelemahlembutan dituntut dalam segala hal terlebih lagi dalam kasus ini. Pengulangan ini bertujuan agar perkataan terakhir yang diucapkannya adalah kalimat “Laa ilaaha illallah,”
Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak bahwa ketika ia kedatangan tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia) ada seorang laki-laki yang menalkinkannya secara berulang-ulang, lantas Abdullah berkata, “Seandainya engkau ucapkan satu kali saja, maka saya tetap atas kalimat itu selama saya tidak berbicara lain.”
BACA JUGA: Penelitian: Kurang Tidur Berakibat Kematian Dini
Dalam hal ini, sebaiknya orang yang menalkinkannya ialah orang yang dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang diduga sebagai lawannya (ada rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad kepadanya, atau ahli waris yang menunggu-nunggu kematiannya.
Sementara itu, sebagian ulama menyukai dibacakan surat Yasin kepada orang yang hampir mati berdasarkan hadits:
“Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati diantara kamu.” (HR Ahmad).
Namun demikian, derajat hadits ini tidak sahih, bahkan tidak mencapai derajat hasan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Disamping itu, disukai menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat jika memungkinkan, karena kadang-kadang si sakit tengah menjalani perawatan di rumah sakit hingga ia menghadap ke arah yang sesuai dengan posisi ranjang tempat ia tidur.
Yang menjadi dalil bagi hal ini adalah hadits Abu Qatadah yang diriwayatkan oleh Hakim, bahwa ketika Nabi SAW datang di Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra’ bin Ma’rur, lalu para sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda: “Sesuai dengan fitrah.” (HR Hakim).
Imam Hakim berkata, “Ini adalah hadits sahih, dan saya tidak mengetahui dalil tentang menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat melainkan hadits ini.”
Ada dua macam pendapat dari para ulama mengenai cara menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini:
Pertama, ditelentangkan di atas punggungnya, kedua telapakkakinya ke arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar wajahnya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi orang yang dimandikan. Pendapat ini dipilih oleh beberapa imam dari mazhab Syafi’i, dan ini merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad.
Kedua, miring ke kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi dalam liang lahad. Ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik, dan nash Imam Syafi’i dalam al-Buwaithi, dan pendapat yang mu’tamad (valid) dalam mazhab Imam Ahmad.
BACA JUGA: Macam-macam Manusia dalam Mengingat Kematian
Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut, mana yang lebih mudah. Sedangkan Imam Nawawi membenarkan pendapat yang kedua, kecuali jika tidak memungkinkan cara itu karena tempatnya yang sempit atau lainnya, maka pada waktu itu boleh dimiringkan ke kiri dengan menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau punggungnya.
Imam Syaukani berkata, “Yang lebih cocok ialah menghadap kiblat dengan miring ke kanan, berdasarkan hadits al-Barra’ bin Azib dalam Shahihain:
“Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhumu ketika hendak shalat, kemudian berbaringlah di atas lambungmu sebelah kanan.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka engkau berada pada fitrah (kesucian).” (Muttafa’alaih).
Dari riwayat ini tampak bahwa seyogyanya orang yang hampir meninggal dunia hendaklah dalam posisi seperti itu.
Diriwayatkan juga dalam al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu Rafi’ bahwa Fatimah binti Rasulullah saw. radhiyallahu ‘anha, ketika akan meninggal dunia beliau menghadap kiblat, kemudian berbantal dengan miring ke kanan. []
Referensi: E-book Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 1/DR. Yusuf al-Qaradhawi/Gema Insani Press.