SURABAYA, 1927. Tepatnya pada Ahad, 9 Oktober 1927 M, bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Tsani 1346 H, Muktamar NU ke-2 digelar. Sebagai organisasi baru yang usianya belum mencapai dua tahun (NU berdiri pada 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1345 H), NU agaknya memang perlu melakukan show of force. Setidaknya agar kehadiran organisasi yang didirikan oleh para ulama ini dapat dikenal kalangan masyarakat lebih luas.
Karena itulah, acara muktamar tampaknya sengaja dibuat sedemikian marak. Hotel Peneleh, tempat berlangsungnya muktamar, ditata apik. Umbul-umbul dengan beraneka warna menghiasi dan memenuhi halaman hotel yang luas. Benar-benar mengesankan bahwa di situ tengah dilangsungkan sebuah pertemuan akbar.
Yang tak kalah menarik adalah sebuah vandel berukuran besar bergambar lambang organisasi NU yang dipasang tepat di pintu gerbang Hotel Peneleh. Pemandangan itu begitu mencolok. Setiap warga kota Surabaya yang lewat di depan Hotel Peneleh pasti tertegun demi melihat keelokan lambang NU itu. Lambang itu masih asing karena memang baru pertama kali ditampilkan.
Pejabat yang mewakili pemerintah Hindia Belanda yang datang dari Jakarta mengikuti acara pembukaan muktamar pun tak luput dibuat penasaran. Dia lantas bertanya kepada Bupati Surabaya yang mendampinginya, apa arti lambang itu. Bupati tak bisa menjawab. Karena itu ia lantas menanyakannya kepada yang punya qawe. Ketua NU waktu itu, H. Hasan Gipo, pun tak bisa memberikan keterangan. Dia hanya bisa menyampaikan bahwa lambang itu diciptakan oleh Kiai Ridlwan Abdullah.
Untuk menjawab teka-teki makna lambang NU itu, lalu diadakan majelis khusus guna menjelaskan dan membahas arti lambang. Beberapa orang wakil dari pemerintah dan para kiai dilibatkan dalam forum ini. Tak ketinggalan Hadhratusysyaikh Hasyim Asy’ari juga secara aktif mengikuti rapat dalam majelis itu. Kiai Raden Adnan dari Solo bertindak sebagai notulen. Sang pencipta lambang, K.H. Ridlwan, diminta memberikan presentasi untuk yang pertama kalinya. Kiai yang biasanya lebih banyak diam di forum-forum pertemuan ini ternyata dengan lancar dapat menjelaskan dan menguraikan secara terperinci arti lambang itu walaupun tidak ada persiapan sebelumnya. Semuanya serba spontan sebab majelis itu sendiri diadakan mendadak.
Dalam penjelasannya, Kiai Ridlwan menguraikan bahwa tampar (tali) melambangkan agama sesuai dengan firman Allah: “Berpegang teguhlah pada tali Allah, dan janganlah bercerai-barai.” Posisi tampar yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah kaum Muslim seluruh dunia. Untaian tampar berjumlah 99 buah melambangkan Asmaul Husna. Bintang sembilan melambangkan Wali Songo. Adapun bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi besar Muhammad Saw; empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin; dan empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah.
“Sudah! Cukup, Kiai Ridlwan!” sela Kiai Raden Adnan yang menganggap keterangan Kiai Ridlwan sudah cukup memuaskan. Kiai utusan dari Solo ini dengan tekun mencatat secara lengkap semua ucapan dan uraian Kiai Ridlwan tersebut. Walhasil, seluruh peserta majelis khusus bersepakat menerima lambang itu dan membuat rekomendasi agar Muktamar ke-2 memutuskan lambang yang diciptakan oleh Kiai Ridlwan tersebut secara resmi menjadi lambang NU.
Pada acara penutupan muktamar, Kiai Raden Adnan tampil ke muka. Ia mencoba merumuskan yang telah diuraikan Kiai Ridlwan. Lambang bola dunia, paparnya, berarti lambang persatuan kaum Muslim seluruh dunia, diikat oleh agama Allah, meneruskan perjuangan Wali Songo yang sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin, yang dibingkai kerangka mazhab empat.
Usai acara penutupan muktamar, sekitar jam tiga dini hari, Hadhratusysyaikh Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Ridlwan. Tampaknya Rois Akbar HBNO (nama lama PBNU) ini terasa perlu menanyakan asal mula dan proses pembuatan lambang NU yang diciptakannya.
Kiai Ridlwan pun berkisah. Dua bulan menjelang Muktamar NU ke-2 dilangsungkan, ketua panitia, K.H. Wahab Chasbullah menjumpai K.H. Ridlwan di rumahnya Jalan Kawatan Surabaya. Pembicaraan dimulai dari soal persiapan konsumsi muktamar. Namun, akhirnya sampai pada pembicaraan tentang lambang NU. Karena Kiai Ridlwan ketika itu sudah dikenal sebagai ulama yang punya keahlian melukis, maka Kiai Wahab menyerahkan sepenuhnya tugas membuat lambang kepadanya. “Pokoknya lambang tersebut harus sudah bisa kita tampilkan di medan muktamar,” tegas Kiai Wahab.
Untuk menunaikan tugas dari Kiai Wahab itu, K.H. Ridlwan merasa kesulitan dalam mencari inspirasi. Berulang-ulang dibuat coretan-coretan sketsa, tetapi tidak ada yang mengena di hati. Beliau membuat gambar dasar sampai beberapa kali. Konon, untuk membuat gambar dasar itu sampai memakan waktu satu setengah bulan. Sementara itu, pelaksanaan muktamar sudah di ambang pintu.
Dalam keadaan gelisah, tiba-tiba Kiai Wahab datang menagih pesanannya. Dengan terus terang Kiai Ridlwan menjawab bahwa sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi masih belum ada yang mengena. Belum cocok untuk sebuah lambang NU.
“Seminggu sebelum muktamar, lambang dan gambar itu sudah jadi Iho,” desak Kiai Wahab.
Kiai Ridlwan hanya bisa menjawab, “Insya Allah.”
Waktu untuk mendesain gambar baru sudah demikian sempit dan mendesak. Maka, untuk menemukan inspirasi itu, Kiai Ridlwan melaksanakan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah Swt. Serampung shalat istikharah, Kiai Ridlwan tidur nyenyak. Dalam tidurnya itulah Kiai Ridlwan bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru dan jernih. Bentuknya mirip dengan gambar dan lambang NU seperti yang kita lihat sekarang.
Waktu itu jam di dinding menunjukkan angka 02.00 dini hari. Setelah terbangun dari tidur, Kiai Ridlwan spontan meraih kertas dan pena. Beliau langsung membuat coretan sketsa, sambil mencoba mengingat-ingat gambar yang dilihat dalam mimpinya.
Akhirnya sketsa gambar pun jadi. Hasilnya mirip betul dengan gambar yang tampak dalam mimpinya. Pada pagi harinya, sketsa yang masih kasar itu lantas disempurnakan dan diberi tulisan NU dari huruf Arab dan Latin. Dalam sehari penuh, gambar tersebut dapat dirampungkan dengan bagus dan sempurna. Maklumlah, Kiai Ridlwan adalah seorang pelukis berbakat.
Kesulitan berikutnya dihadapi Kiai Ridlwan: bagaimana dan di mana mencari kain untuk lambang tersebut sebagai dekorasi di medan muktamar. Beberapa toko di Surabaya sudah didatangi, namun semuanya tidak ada yang cocok. Warna kain di toko-toko di Surabaya tidak ada yang cocok dengan warna kain yang terlihat dalam mimpi. Akhirnya Kiai Ridlwan mencoba mencari kain berwarna hijau tersebut di Malang. Di kota itu warna kain yang cocok dengan tabir mimpinya berhasil ditemukan. Tapi sayang, jumlahnya sedikit. Persediaan di toko hanya sisa, ukuran 4 x 6 meter.
“Tak apalah,” kata Kiai Ridlwan. Kain hijau itu pun dibeli dan dibawa ke Surabaya. Ukuran lambang NU dibuat memanjang ke bawah; lebar 4 meter dan panjang 6 meter, sesuai dengan bentuk asli lambang NU.
Tampaknya Kiai Hasyim Asya’ri sangat puas dengan penjelasan Kiai Ridlwan, yang menguraikan secara kronologis pembuatan gambar itu. Beliau lantas mengangkat kedua tangannya seraya membaca doa cukup panjang. Akhirnya beliau berkata, “Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di dalam simbol Nahdlatul Ulama.”
Sayangnya, vandel “pusaka” berukuran besar berlambang NU itu kini tak ketahuan di mana rimbanya. “Waktu PBNU boyongan ke Jakarta, vandel itu masih ada. Di sini terawat baik, disimpan dalam sebuah almari, tak tahulah nasibnya sekarang,” kata Abdullah Ridlwan, salah seorang putra Kiai Ridlwan. Tampak dari wajahnya perasaan kecewa. []
(Dikutip dan disunting oleh Yusuf Maulana dari buku Saifullah Ma’shum [ed.], “Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU”, 1998: 109-113)