Oleh: Daud Farma
Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
WAH senangnya! Akhirnya aku menikah juga. Akhirnya aku punya suami juga dan penantianku tidaklah sia-sia.
Di dalam hidup ini kita akan sering menunggu orang lain, dan aku menunggu seseorang yang akhirnya menjadi suamiku juga meskipun dia sudah pernah menikah dengan sahabatku sendiri.
Tetapi aku tidaklah membenci sahabatku itu, apalagi membenci orang yang sekarang sudah jadi suamiku? Tidak akan! Tidak mudah bagiku membenci orang yang cintaku padanya sudah bersemi di dalam hatiku. Tidak mudah bagiku membenci orang yang sudah 44 tahun kutunggu dan tidak mudah pula bagiku membenci orang yang selama ini membuatku tetap semangat hidup.
BACA JUGA: Percaya, Rejeki Setelah Menikah Mudah?
“Bangun sayangku, ayo sarapan.” Aku membangunkan suamiku dengan kecupan dan mengajaknya sarapan. Telur mata sapi adalah sarapan pagi kami, sesuai janjiku dulu sebelum menikah bahwa telur mata sapi adalah menu untuk sarapan.
Suamiku tidak jarang melarangku agar jangan memanggilnya sayang di depan anak tunggal kami, Dewi. Tetapi aku tidak peduli sebab aku baru menikah sehari, meskipun sekarang umurku sudah 64 tahun. Kenapa aku merasa muda? Sebab memang aku berjiwa muda walaupun kulitku sudah keriput. Ya aku adalah pengantin baru, tidak peduli seisi kampung heran atau cemburu padaku.
Setelah sarapan, kami duduk berdua di teras depan, menikmati udara pagi. Secangkir the hangat telah aku buatkan dan aku letakkan di atas meja. Suamiku membaca koran dan aku membaca novel. Baru dua paragraf aku membaca, tiba-tiba semacam surprise yang aku dengar dari telingaku sebelah kanan:
“Dik, kamu mau kita bulan madu kemana?” tanyanya. Wah, bulan madu! Senangnya hatiku! Sudah sejak kemarin aku memikirkan akan berbulan madu kemana? Susah juga aku mengatakannya terlebih dahulu sebab itu kan memang seharausnya suamiku yang memulainya.
“Humm, aku mau kita berbulan madu ke Turkey.” jawabku tersenyum. Kenapa aku memilih ke Turkey? Sebab aku sudah sering jalan-jalan ke sana lewat buku bacaaanku. Ya pikiranku dan angan-anganku yang dulaun traveling ke Turkey sementaa jasadmu masih berbaring di kamarku pada biasanya, dan mataku menatap dan terus membaca tentang Turkey. Aku kagum negeri dua benua itu. Aku telah banyak sekali membaca buku-buku tentang sejarah kota Konstantinopel.
“Yah, kita sudah tua, Dik, jangan jauh-jauh. Aku tidak sanggup perjalanan jauh Dikku.”
“Tidak apa-apa Abang sayang. Meninggal di Turkey juga tidak apa-apa.”
“Bagaimana kalau kita bulan madu ke Sabang saja sayangku? Bukan kah sudah lama sekali kamu ingin ke Sabang? Kan di sana tak kalah indah dengan Turkey Dikku? Ayo sebutkan apa saja yang kamu tahu di sana?”
“Oh iya Abangku, aku sudah lama sekali ingin ke Sabang! Humm, aku ingin sampai ke tugu Nol Kilometer Indonesia!”
“Baiklah kalau begitu. Mulai nanti malam siap-siap, kita berangkat besok pagi.”
“Wah yang benar Abangku? Serius kah itu?”
“Benar, ya Abang serius Dikku.”
“Yeee, terima kasih suamku.” Aku kecup pipi Tha sebelah kanan, bukan main gembiranya aku!
Ini adalah bulan madu keduaku setelah dulunya berbulan madu dengan istri pertamaku. Aku maklum pada Wiy, dia menikah denganku di usianya yang ke 64 tahun, aku kagum dan sayang padanya, ia begitu tulus dan setia menungguku hingga usia senja. Wiy hadir di hari tuaku, sungguh aku membutuhkan kasih sayang istri di hari aku menjelang sakaratul maut.
Aku ingin ada istriku di sampingku di saat mataku membelalak menatap Malaikat Ijrail yang hendak mencabut nyawaku, aku ingin kalimat tauhid yang terakhir kalinya aku ucapkan dan aku butuh dibimbing istriku untuk melafadzkannya. Dan aku yakin Wiy mampu membimbingku nantinya. Sepertinya umurku lebih pendek darinya.
Wiy? Istriku? Dia masih berjiwa muda, semangatnya masih membara meskipun fisiknya tidak dapat berdusta bahwa ia adalah perempuan tua, sudah tak asing telingaku mendengar orang memanggilnya nenek. Aku merasakan sekali betapa sayangnya Wiy padaku. Aku yang pecandu teh hangatnya setiap pagi, dia tak bosan-bosan dan tak lelahnya membuatkan teh cintanya untukku. Selain itu, kadang kala tidak bisa aku batuk sedikit saja,
“Ayo ke dokter Abangku sayang.” ajaknya, padahal saat itu memang kerongkonku lagi butuh batuk sebab sedikit gatal, padahal sekali batuk langsung sembuh. Ada kalanya aku sengaja bersin, aku senang bercanda dengan istriku.
“Abangku pilek kah? Butuh air hangat? Ayo ke dokter suamiku. Aku takut kamu kenapa-kenapa Abangku sayang.” Padahal sengaja aku cabut bulu hidungku di saat matanya sedang fokus pada bacaannya. Ah, aku suka bercanda. Wiy adalah orang yang super rajin baca buku! Belum pernah kulihat sejauh umurku ada orang serajin dirinya membaca. Saat lagi mengaduk sayur, sempat-sempatnya ia sambil baca. Dan dia kalau baca buku tidak bunyi, namun saat ia mengantuk, barulah ia berbunyi. Kalau dia lagi baca nyaring, aku tidak bisa dekat, aku tidak sanggup ribut. Dan di saat itulah ia membalasku, ia mengikutiku kemana pun aku pergi. Ke ruang tamu? Dia ikut. Aku pura-pura beli makanan ke luar rumah, dia sengaja ikut dan malah dia menawarkan dirinya.
“Abangku, biar Wiy saja yang beli Abang sayangku.” katanya. Meskipun umur Wiy lebih tua dua tahun dariku, tapi saat ini dialah yang mengurusku, merawatku, betapa tulusnya kasih sayangnya padaku! Wiy selalu memanggilku “Abagnku sayang” Sayang? Bukankah panggilan itu untuk pengantin baru? Bukankah kata itu adalah wajar dari seoraang istri pada suaminya? Sebagai pengantin baru? Bukan kah Wiy dan aku adalah pengantin baru? Bukankah Wiy baru satu minggu menikah denganku?
Sebelum berangkat, Wiy tidak bosan-bosannya mengajakku ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku, karena pagi ini aku sudah batuk dua kali.
BACA JUGA: 5 Macam Kebahagiaan Menikah
“Ayo ke rumah sakit Abangku Sayang.”
“Tidak usah Dikku, aku baik-baik saja,” sahutku tersenyum dan menyakinkannya bahwa aku sehat.
“Ayo Dikku siap-siap, sebentar lagi kita berangkat ke Sabang!”
“Ya Abangku sayang, aku siap-siap dulu,” sahutnya semangat. Meskipun aku rapuh saat ini, aku mesti kuat. Aku harus membahagiakan istriku. Aku ingin selalu melihatnya tersenyum, tawa dan bergembira. Sepeuluh menit kemudian, Wiy sudah siap. Mobil sudah dipanaskan dan kami berangkat ke Sabang dengan supir pribadi kami yang masih muda, kuat dan tangguh. Semua ini, perjalan jauh ini, tidak lain ialah untuk kebahagiaan bersama, untuk istriku lebih tepatnya. Sebab aku sendiri sudah pernah dulunya ke Sabang dengan istri pertamaku. Sepanjang jalan, Wiy tidak henti-hentinya muntah di dalam mobil. Maklum, istriku belum pernah pergi jauh, maklum saja bahwa jalan Kuta Cane-Belang Kejeren-Takengon-Banda Aceh penuh tikungan patah, dan supir kami lumanyan balap padahal banyak jurang nan tinggi, padahal sudah diigatkan istriku Wiy. Lebih tiga belas jam lamanya perjalanan, kami pun sampai di pelabuhan Ulee Leue. Kami membeli tiket untuk tiga orang dan satu mobil. Kami naik ke atas kapal Feri menuju pelabuhan Balohan, Pulau Weh. Kami berdiri di pinggir pagar kapal. Harga tiket untuk satu orangnya tidaklah mahal, hanya dua puluh lima ribu saja. Dua jam lamanya aku di atas kapal ini dengan istriku tercinta.
“Wiy, dikku, kamu mau melihat ikan?” tanyaku menawarkan.
“Mau.” sahutnya bahagia. Aku pun menyuruhnya menaikkan kedua kakinya di atas tiang pagar nomor dua dari bawah.
“Aku takut.”
“Jangan takut sayangku, aku memegangimu erat,” dia pun menaikkan kedua kakinya dan aku berusaha kuat memeganginya dari belakang.
“Bagaimana? Sudah lihat ikannya?”
“Belum, belum kelihatan Abangku sayang.” Wiy benar, memang ikannya tidak kelihatan. Tadi aku hanya menggodanya agar ia berani berdiri di atas pagar untuk melihat laut yang luas nan indah sembari dimanjakan angin laut.
“Aku merasa terbang Abang sayang, seperti film Titanic, hanya saja kapalnya tidak terlalu besar.” katanya tertawa bahagia.
“Mau turun?” tanyaku.
“Tidak mau, aku mau lebih lama lagi di atas ini Abangku.” katanya bahagia. Kulihat Wiy mulai melentangkan kedua tangannya,ia tertawa bahagia.
“Abangku sayang, suamiku,”
“Ya dikku?”
“Di surga ada laut dan kapal tidak ya? Nanti di surga kita bisa merasakan seperti ini lagi tidak ya Abangku?”
“Kenapa kamu tanyakan itu Dikku?”
“Aku ingin seperti saat ini juga nantinya di surga. Aku ingin bersamamu di surga, naik kapal di lautan yang luas nan indah seperti ini. Aku ingin bersamamu selamanya, dunia hingga surga. Aku takut kehilanganmu suamiku.”
“Ya Dikku sayang, di surga segalanya ada. Bahkan yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan bahkan tak pernah terlintak pada hati manusia.”
“Apakah nanti kita bersama lagi di surga Abangku sayang?”
“Ya istriku sayang, kamu akan bersama orang yang kamu cintai, kita akan bersama di Surga. Usah khawatir, aku selalu berdoa di setiap sujudku untuk umurmu lebih panjang daripada umurku.” jawabkua menyakinkan dan menguatkannya.
“Usah khawatir.” kataku lagi membahagiakannya. Kemudian ia minta turun, dan segera Wiy memelukku.
“Aku sayang kamu suamiku.” katanya lirih.
“Aku juga sayang kamu istriku.”
Kapal pun sampai di tepian pelabuhan Balohan. Semua penumpang turun, mobil kami juga sudah turun dan kami segera masuk ke dalam mobil untuk bergegas ke penginapan yang sudah kami booking. Kami menginap di hotel Pulau Weh Paradise. Sampai di hotel, ternyata kamar yang kami pesan menghadap ke laut. Hari masih siang, kami pun istirahat.
Sore harinya, kami pergi ke pantai. Ingin mandi di laut dan melihat ikan. Laut di Pulau Weh adalah laut indah dan bersih, ibarat berenang di dalam air kaca. Ikan-ikan di Pulau Weh sangat ramah, ia berani menyapa dan mendekat, mereka menunjukkan bahwa mereka adalah indah, mereka adalah hiasan laut Sabang.
Aku dan istriku hanya berani di tepi saja. Lalu kami berpose bersama, supir pribadi kami sekaligus jadi photograper. Macam gaya yang Wiy tunjukkan, dan gaya itu adalah gaya pengantin baru pada umumnya. Wiy adalah orang pemberani, dia tidak takut pada kepiting. Sudah lebih lima kepiting ia tangkap. Tapi kemudian ia lepaskan setelah ia kurung di dalam rumah pasir yang ukuran kecil yang ia buat sendiri. Wiy tidak mau makan kepiting darat. Ia suka kepiting yang tidak suka dengan daratan. Menu kepiting laut tersedia di hotel kami. Setelah puas berenang, hari sudah hampir magrib, kami pun balik ke hotel. Rencana kami besok mau ke Kilometer 0 Indonesia. Kami ingin sunset esok hari di tugu Nol Kilometer Indonesia, katanya di sana adalah salah satu sunset tercantik di negeri ini.
Setelah shalat isya, juga setelah makan malam, kami mengobrol di tepi jendela hotel yang punya teras kecil. Rembulan sedang terangnya, angin laut sepoi-sepoi memanjakan kulit dan mata.
“Sayangku,” kata Wiy.
“Lusa kamu pulang sendirian ya ke rumah kita. Jangan lupa jaga kesehatan. Sayur-sayuran yang kita tanam di belakang rumah sudah bisa dimasak. Suruh lah Dewi memesaknya. Banyak-banyak makan sayur sayangku agar kamu selalu sehat Abangku sayang.”
“Ada apa sayangku? Kamu tidak mau pulang bersamaku? Kamu betah di sini?”
“Bukan begitu Abang sayang. Aku akan pulang duluan.”
“Kemana tanyaku?” aku heran sekali. Tapi Wiy tidak mau menjawab, ia pun masuk kamar dan baringan di kasur. Wiy tidur duluan. Aku masih di tepi jendela, aku belum ngantuk. Aku masih mnikmati keindahan Pulau Weh, Sabang. Akun ingin menemukan inspirasiku, aku ingin menuliskannya di dalam buku harianku yang sekarang ada di dalam koper. Aku pun bergeas mengambilnya di koper. Hingga kurangkailah satu sajak untuk istriku tersayang. Dengan judul: Aku dan Istriku.
BACA JUGA: Menikahi Wanita Hamil karena Zina, Bagaimana Hukumnya?
Istriku, kau adalah orang yang setia
Kesetiaanmu menungguku hingga tua
Istriku, kau adalah perempuan
Aku adalah suamimu
Kau indah bukan buatan
Kau adalah ciptaan dan hadiah dari Tuhan untukku
Sayangku yang sedang tidur pulas di pulau Pulau Weh
Pejamkan matamu kenanglah aku dan indahnya lautan
Peluk, pelut erat aku dan keindahan itu agar suatu hari nanti kita bisa merasakannya kembali
Sayangku, bukankah Sabang dan Pulau Weh-nya adalah surga Indonesia? Surga dunia?
Sayangku, percayalah bahwa surga jauh lebih indah
Sabang hanyalah setetes keindahan surga
Istriku, bukankah kita sudah bersama di surga? Ya aku menyebutnya surga.
Istriku, bukankah kau menginginkan hal yang sama?
Istriku, kita saling mencintai dan kita akan bersama di dunia hingga surga-Nya.
Di Sabang kita tawa gembira berdua
Di Surga kita bahagia bersama
Pulau Weh indah di mata sejuk dalam jiwa
Sayangku, bila nanti umurku lebih pendek darimu
Aku setia mmnunggumu di Surga
Bila nanti kau merindukanku
Datanglah ke Sabang, ke Pulau Weh
Sabang adalah titisan Surga
Kuyakin Sabang dapat menyembuhkan rindu
Sayangku, Sabang adalah pulau penyembuh rindu
Rindu seorang suami pada istrinya
Rindu istri pada suaminya dan
Rindu seorang hamba pada Surga-Nya
Istriku, aku mencintaimu
Istriku, aku menyayangimu
Istriku, kita berdua di Sabang
Istriku, kita akan bersama di Surga.
By; Tha. *Malam Jum’at, Sabang-Pulau Weh. Jam: 23: 25. Setelah menulis sajak, aku merasa kantuk. Aku menutup jendela, aku mematikan lampu. Aku memeluk istriku dan aku tertidur. Pukul enam pagi, aku bangun. Kubuka mataku menatap asbes hotel. Tirai jendela sudah terbuka sehingga cahaya pagi masuk ke dalam kamar. Aku masih baringan, belum duduk. Istriku? Kemana kah ia? Aku bertanya-tanya. Kulihat kiri-kananku di atas kasur, tidak ada, Wiy tidak ada di sampingku. Padahal tadi malam aku masih memeluknya. Aku pun duduk dan mataku mencari sekeliling kamar, kulihat istriku sedang sujud. Oh dia shalat subuh. Tapi biasanya dia tidak pernah telat shalat subuh, baru kali ini Wiy telat dan masih sujud. Biasanya Wiy bangun malam dan shalat tahajud, kemudian menunggu subuh tiba, tidak tidur lagi sampai siang hari.
“Wiy…” panggilku. Dia tidak menyahut.
“Sayangku…” panggilku lagi, Wiy masih sujud. Jantungku berdetak tak menentu, keringat dinginku bertimbulan, hatiku bergetar, tubuhku tergoncang, hotel terasa bergoyang. Aku segera bangkit dari ranjang dan menghampiri istriku.
“Sayangku, bangun..!” kataku sembari menggoyangkan tubuhnya. Dan ia terkulai di pangkuanku. Badannya lemas tak bertenaga, napasnya tiada, jantnugnya berhenti.
“Innaalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” hanya kata itu yang mampu aku ucapkan, dan aku menangis sejadinya. Tangisku pecah, hingga petugas hotel dan penghuni hotel lainnya datang dan mengetuk pintu. Sakit mana lagi yang belum kurasakan? Sedih mana lagi yang belum aku lewati? Benar memang meninggal kedua orangtua adalah sedih, meninggal seorang anak adalah sedih, meninggal kakek-nenek, adalah sedih, meninggal saudara kandung adalah sedih, meninggal istri pertama adalah sedih. Tetapi kali ini amat sedih sekali yanag kurasakan! Sebab yang meninggal adalah orang yang paling aku cintai dan aku sayangi di dunia ini. Kesedihanku tak pernah sesedih ini! Istriku, kenapa harus kamu yang pulang duluan? Kenapa tidak aku saja ya Tuhan? Kenapa kami tidak meninggal bersama?
Oh ternyata, kata-katamu beberapa hari belakangan ini adalah tanda-tanda kerpegianmu duhai istriku, tanda pamitanmu padaku. Padahal baru satu minggu kita menikah, aku sedang sayang-sayangnya padamu. Katamu tadi malam yang pulang duluan itu? Oh ternyata kamu pulang dan menhadap-Nya. Ternyata sajakku tadi malam itu adalah untukku sendiri, untuk menguatkan diriku sendiri, caraku untuk menyembuhkan rinduku sendiri. Sungguh ajal memang tak pilih kasih, tak nentu umur.
Ya Allah, kenapa orang yang selama ini yang setia menunggu, mencintai dan menyanyangiku Engkau ambil duluan? Kenapa bukan aku? Hummm, kutahu ini adalah balasan darimu ya Allah. sebab aku telah lama membuatnya menunggu dan merindukanku. Ya Allah, aku berusaha ikhlas.
Istriku, Wiy, aku tidak akan banyak makan sayur, biarlah aku sakit, tidak panjang umur, agar segera menyusulmu. Tapi bukankah dengan begitu aku putus asa? Baiklah, aku akan tetap makan sayur, aku akan lebih rajin lagi beribadah, aku ingin panjang umur, aku ingin menebus kesalahanku padamu dengan banyak-banyak mendoakanmu. Membaca surah yasin setiap hari jum’at dan menghadiahkannya untukmu.
Aku yakin doaku sampai padamu duhai istriku, orang yang aku cintai. Sayangku, padahal hari ini agenda kita adalah sunset di tugu Nol Kilometer, namun kini kamu telah tiada. Hari ini aku harus membawa jenazahmu pulang, aku ingin kamu di makamkan di pemakaman dekat rumah kita. Agar nanti saat giliranku meninggal, aku pesankan pada Dewi agar menguburkanku di samping makammu. Selamat tinggal Pulau Weh, selamat tinggal Sabang, aku dan istriku harus pulang.
Satu bulan setelah ibuku Wiy pergi untuk selamanya, ayahku Tha juga meninggal. Sesuai pesannya padaku, ayahku dikburkan berdampingan dengan Wiy, juga degan ibu kandungku. Belakangan ini aku membaca catatan harian ayah dan ibuku, dan cerita di atas jugalah dari buku harian mereka. Kawan, kamu masih ingat deganku? Ya namaku Dewi Thawiyyah, sekarang aku sudah hobi membaca dan menulis, aku juga ingin seperti ayah-ibuku, Tha dan Wiy yang keduanya suka menulis dan membaca. []
Darrasah-Kairo, 19 September 2018.