Oleh: Irah Wati Murni, S.Pd
KISAH kali ini bercerita tentang beberapa ksatria muslim di medan Perang Mu’tah. Mereka adalah sekumpulan pemuda yang memiliki semangat juang tinggi dan tingginya keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti diketahui, Perang Mu’tah merupakan peperangan terbesar yang dilakukan orang-orang muslim semasa Rasulullah Saw., masih hidup. Perang ini juga termasuk perang yang paling menegangkan, pasalnya pasukan muslim yang berjumlah 3000 orang harus menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya 200.000 orang.
Perang Mut’ah terjadi pada Bulan Jumadil Ula 8 H, bertepatan dengan Bulan Agustus atau September 629 M. Perang ini dilatarbelakangi oleh pembunuhan utusan muslim Al Harits bin Umair yang mengantar surat kepada pemimpin Bashra. Padahal membunuh seorang utusan merupakan kejahatan besar sama dengan mengumumkan perang atau bahkan lebih dari itu. Oleh karena itu, Rasulullah menghimpun pasukan islam terbesar yang jumlahnya mencapai 3000 prajurit untuk berperang menghadapi pasukan Heraklius.
Dalam perang ini, Rasulullah Saw., menunjuk Zain bin Haritsah sebagai komandan pasukan. Beliau bersabda,”Apabila Zaid gugur, penggantinya adalah Ja’far. Apabila Ja’far gugur penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.” Akhirnya pasukan muslim bergerak mendekati markas pasukan Heraklius yang berada di suatu dusun di bilangan Al Baqa’ yang bernama Masyarif. Ketika musuh semakin mendekat, pasukan muslim membelok ke arah Mu’tah dan bermarkas di sana.
Di Mu’tah itulah kedua pasukan saling berhadapan dan pertempuran pun mulai meletus, 3000 prajurit muslim harus menghadapi gempuran musuh yang berkekuatan 200.000 prajurit. Hal ini merupakan suatu pertempuran langka dengan jumlah pasukan yang tidak seimbang. Namun, itulah hebatnya pasukan muslim, jika angin iman sudah berhembus di dada, maka munculah keyakinan yang menghujam di jiwa. Taka da ketakutan dan kegentaran mereka, hanya kemenangan agama Allah dan RasulNya saja yang menjadi tujuan utamanya.
Sahabat yang memegang bendera perang pertama kali adalah Zain bin Haritsah. Ia bertempur dengan gagah berani dan heroik, hampir tak ada seorang pahlawan islam pun yang menandinginya. Zaid terus-menerus bertemur dan bertempur hingga akhirnya ia terkena tombak musuh dan akhirnya terjerembab di tanah. Zaid pun mati syahid.
Kemudian bendera diambil alih oleh Ja’far bin Abu Thalib. Beliau juga bertempur dengan gagah berani, jarang ada bandingannya. Ketika pertempuran semakin seru, beliau terlempar dari atas kudanya dan kudanya terkena senjata. Kemudian Ja’far terus bertempur hingga tangan kanannya putus terkena senjata lawan. Bendera ia alihkan ke tangan kiri dan terus bertempur hingga tangan kirinya pun putus terkena senjata lawan. Kemudian bendera itu ia lilitkan di lengan bagian atas yang masih menyisa dan terus berusaha mengibarkan bendera hingga ia pun gugur di tangan musuh.
Ada yang berkata tentang aksi Ja’far itu,”Sesungguhnya seorang prajurit Romawi membabatkan pedang ke tubuhnya hingga terbelah menjadi dua bagian. Allah menganugerahinya dua sayap di surga. Dengan dua sayap itu ia bisa terbang menurut kehendaknya.” Karena itu Ja’far bin Abu Thalib dijuluki At-Thayyar (penerbang) atau Dzul Janahain (orang yang memiliki dua sayap).
Setelah Ja’far bin Abu Thalib gugur, bendera diambil oleh Abdulullah bin Rawahah. Ia maju ke depan sambil menaiki kudanya. Awalnya ia terlihat seperti ragu-ragu, namun saat itu pula ia menguatkan diri dengan melantunkan syair:
“Wahai jiwa segeralah turun ke sini, turunlah atau engkau akan dibenci, biarkan mereka beteriak dan menghiba, mengapa kulihat engkau tidak suka surga.”
Akhirnya Abdulullah bin Rawahah benar-benar turun dari punggung kudanya. Pada saat itu, sepupunya menghampiri dirinya sambil menyerahkan sepotong tulang yang masih menyisakan sedikit daging seraya berkata,”Makanlah ini agar punggungmu bisa tegak, karena pada beberapa hai ini engkau menghadapi keadaan seperti yang engkau hadapi.”
Abdulullah bin Rawahah mengambil dan menggigitnya sedikit. Tetapi kemudian ia memuntahkannya lagi. Kemudian ia mengambil pedangnya lalu maju ke depan untuk bertempur hingga ia gugur.
Setelah ketiga komandan perang yang telah diwasiatkan Rasulullah gugur, akhirnya pasukan muslim menunjuk Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan. Maka setelah Khalid mengambil bendera, ia bertempur dengan hebat dan gagah berani. Akhirnya Khalid pun berhasil memimpin pasukan muslim memenangkan peperangan yang sengit tersebut. Al Bukhari meriwayatkan dari Khalid bin Walid, dia berkata,”Ada sembilan pedang yang patah di tanganku pada waktu Perang Mu’tah. Yang tinggal di tanganku hanya sebatang pedang lebar model Yaman.”
Sebelum orang-orang Madinah mendengar kabar kemenangan dari kancah peperangan Mu’tah, Rasulullah telah bersabda,”Zaid mengambil bendera, lalu ia gugur. Kemudian Ja’far yang mengambilnya dan dia pun gugur. Kemudian Ibnu Rawahah yang mengambilnya dan dia pun gugur.” Kedua mata beliau menetaskan air mata, lalu beliau bersabda lagi,”Hingga salah satu dari pedang-pedang Allah mengambil pedang itu dan akhirnya Allah memberikan kemenangan kepada mereka.”
Sebagai generasi muda islam, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ksatria-ksatria Mu’tah yang sangat luar biasa di atas, yaitu:
Pertama, sebagai orang beriman kita harus patuh pada setiap perintah Allah dan RasulNya, meski hal itu terasa berat dan tidak mudah bagi kita. Karena Apa-apa yang telah diperintahkan Allah dan RasulNya sejatinya demi kebaikan diri kita sendiri. Istilah ini biasa kita dengar dengan “Sami’na wa atho’na” (Kami dengar dan kami taat).
Kedua, kita harus bangga terhadap panji rasulullah yakni bendera tauhid umat islam, baik yang berwarna putih (al liwa) maupun berwarna hitam (ar rayah). Karena bendera tauhid adalah identitas kaum muslim, bukan malah bersikap sebaliknya seperti merasa takut, antipatik bahkan bersikap islamophobia hingga menuduh bendera tauhid ini sebagai bendera teroris atau yang lainnya. Oleh karena itu, ayo kenali sejarah islam agar tak mudah disesatkan oleh opini-opini dan propaganda musuh-musuh islam!
Ketiga, kita harus memiliki semangat berkorban dan keberanian untuk membela agama Allah. Kita harus berjuang mengeluarkan segala pengorbanan baik harta, tenaga, waktu, maupun jiwa demi tersebar luasnya agama islam di muka bumi ini. Waallahu’alam. []
Sumber: Sirah Nabawiyah/Karya: Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfuri