PEREMPUAN mempunyai hak untuk ikut melakukan shalat jamaah. Pada zaman Rasulullah kaum perempuan kerap hadir shalat berjamaah ketika situasi sedang kondusif.
Riwayat dari Aisyah r.a, “Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Subuh bersama Rasulullah. Mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian, para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap,” (HR Bukhari Muslim).
Ummu Salamah r.a juga menambahkan, “Di masa Rasulullah, para wanita ikut hadir dalam shalat berjamaah. Selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka,” (HR Bukhari).
Perempuan pun dapat menjadi imam selama makmumnya juga perempuan. Pendapat ini sebagaimana bersumber dari hadis yang diriwayatkan dari Aisyah binti Abu Bakar R.a dan Ummu Salamah R.a: Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa seorang wanita mengimami jamaah shalat dari kaum wanita dan ia (imam) berdiri di tengah-tengah mereka (yang ada di barisan paling depan).
Hanya, ada beberapa permasalahan saat sang imam perempuan ini memimpin shalat jamaah jahriyah atau shalat jamaah dengan suara yang harus dikeraskan.
Contohnya saja shalat Maghrib, Isya, dan Subuh. Apakah sebagai imam perempuan ini harus melirihkan suaranya, tidak bersuara atau tetap bersuara keras (jahr).
Ustazah Aini Aryani dari Rumah Fiqih menjelaskan, jahr dalam bacaan shalat maksudnya adalah mengeraskan di beberapa rukun shalat, tetapi bukan dengan suara lantang atau teriak-teriak.
Maksud jahr di sini, yakni sekadar terdengar oleh jamaahnya. Menurutnya, semua ulama sepakat bahwa dalam shalat jahr maupun shalat siriyah, takbir intiqal atau takbir yang menandakan perpindahan dari satu rukun ke rukun selanjutnya dalam shalat adalah diperbolehkan.
Seandainya tidak dikeraskan, ujar dia, makmum tidak tahu ketika terjadi perpindahan rukun shalat.
Hanya, ada beberapa perbedaan pendapat dari para ulama. Mazhab Maliki mengungkapkan bahwa hukum imam wanita mengeraskan suaranya adalah makruh. Baik itu shalat sir ataupun shalat jahriyah
Jika imam ini mengeraskan bacaannya ternyata di sekitarnya banyak laki-laki, maka laki-laki itu harus memberi isyarat agar iamam prempuan tersebut mengecilkan suaranya. Bacaan sang imam perempuan bisa dilirihkan.
Sementara, ulama dari Mazhab Syafii menganjurkan agar imam perempuan mengeraskan bacaan dalam shalatnya saat shalat jahriyah, bahkan ketika shalat sendirian. Namun, ini berlaku jika lingkungannya tidak ada lelaki yang bukan mahram.
Jika terdapat mahram di lingkungan ketika shalat, imam tersebut sebaiknya melirihkan bacaan shalatnya.
Ustazah Aini pun menjelaskan, ulama dari Mazhab Zhahiri membolehkan perempuan men-jahr-kan shalat di tiga shalat jahriyah. Pendapat ini mengambil qiyas sebagaimana bolehnya lelaki boleh mendengar suara perempuan. Dengan catatan, suara perempuan tidak didayu-dayukan dan dimanja-manjakan, sehingga timbul fitnah dari pihak lelaki. Wallahualam. []
Sumber: Republika