ISTANBUL— KASUS kematian jurnalis Amerika Serikat (AS) berkewarganegaraan Arab Saudi, Jamal Khashoggi, telah menyita perhatian dunia dan berimbas pada hubungan politik tiga negara yakni Saudi, AS dan Turki.
Penyelidikan yang masih dilakukan mengungkap adanya keterlibatan Saudi dalam kasus tersebut. Mengapa jurnalis itu jadi terget buruan pemerintah? Sosiolog Turki Yasin Aktay, mengemukakan sejumlah alasan yang mungkin menjawab pertanyaan tersebut.
BACA JUGA: Erdogan Beberkan Misteri Kematian Jamal Khashoggi
Aktay yang juga menjadi penasihat partai berkuasa Turki, Partai Keadilan dan Pembangun (AK) itu menyebut bahwa pemerintah Riyadh menganggap wartawan Washington Post itu berpotensi untuk mengorganisasikan oposisi.
“Dari mana kecurigaan ini berasal?” tanya Aktay yang juga dikenal sebagai teman Khashoggi ini, “Saya kira kecurigaan ini dibangun dari keparanoidan, kekuasaan, ketakutan pemerintah, dan kepengecutan.”
Keberadaan Khashogi sendiri terkait erat dengan tiga negara. Sebab, Khashoggi diketahui mempunyai darah Turki dari kakeknya, Muhammed Halit Kasikci. Keluarganya merupakan satu dari ribuan warga Saudi keturunan Turki.
Nama Khashoggi sendiri dalam bahasa Turki berarti pembuat sendok dan dieja sebagai ‘Kasikci’. Namun, dalam satu setengah tahun terakhir, Khashoggi tinggal di Washington D.C sebagai kolumnis untuk Washington Post.
Khashoggi kerap terbang ke Istanbul untuk mengikuti pertemuan dengan para ahli dan akademisi untuk mendiskusikan solusi terhadap ketidaknyamanan atas dunia Islam belakangan ini.
“Istanbul adalah pusat komunitas Islam yang penting. Kebanyakan pertemuan Islam dunia saat ini diadakan di Istanbul,” lanjut politisi itu, “Ia diundang ke pertemuan ini nyaris tiap bulan. Dalam pertemuan dengan peserta yang berbeda-beda, dia adalah salah satu yang pertama diingat untuk diundang.”
Menurut Khashoggi, dunia Islam bisa mengatasi segala persoalannya lewat demokrasi. Terobosan demokrasi dan pembangunan ekonomi di Turki membuatnya tertarik. Ia menyebut bahwa Truki bisa menjadi contoh bagi dunia muslim.
“Tentu ia sadar bahwa tidak ada model yang bisa ditransfer mentah-mentah begitu saja, tapi inspirasi dan pengaruh Turki akan menggema disana. Sebagai contoh, saat terjadi Arab Spring, ia yakin melihat analogi itu tengah berkembang.”
Namun, pemikiran Khashoggi itu seolah terkekang di bawah pemerintah Saudi.
“Selama periode Arab Spring, ia mengambil sikap menentang negaranya sendiri. Ide-ide oposisi ini tidak mengubahnya menjadi seorang pria yang bisa dibungkam,” kata Aktay, “Tapi ini baru terjadi dalam satu setengah tahun terakhir. Sebelum itu, dia memiliki hubungan yang cukup baik (dengan Saudi).”
Aktay pun menegaskan bahwa Khashoggi tidak hendak menggulingkan kekuasaan kerajaan Saudi saat ini.
“Ia tidak mencari alternatif. Maksudku, dia tidak mencari dinasti atau raja baru. Namun ia ingin negaranya untuk menjadi kerajaan yang lebih demokratis dan pengaturan yang lebih baik seperti Inggris,” tandasnya.
Sebelumnya, rekan Khashoggi di Amerika Serikat, Ali Al-Ahmed, juga sempat mengemukakan hal serupa. Bahwa wartawan itu hanya menginginkan kerajaan Saudi agar menerima dan mengembangkan diskusi. Bukan menekan mereka dengan penangkapan dan pengejaran.
Aktay juga menggarisbawahi bahwa Khashoggi memiliki kepercayaan besar terhadap negaranya dan Turki. Ia yakin bahwa Saudi tidak akan melakukan kekejaman terhadap warganya sendiri, apalagi di gedung konsulatnya sendiri.
“Dia terlalu yakin bahwa insiden semacam (pembunuhan) itu tidak akan terjadi di Turki. Dia tahu bahwa tidak akan ada penculikan semacam itu di Turki, yang memiliki negara hukum dan di mana kekuatan polisi dan kemampuan mereka benar-benar baik. Dan tentu saja, itu adalah konsulat. Dia sangat percaya seperti seorang manusia biasa. Kepercayaan diri ini merusak.”
Khashogi diketahui mengunjungi konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada 2 Oktober 2018 lalu. Kala itu, dia hendak mengurus berkas pernikahannya. Namun, sejak hari itu, Khashoggi dinyatakan hilang.
Hasil penyelidikan menyebut bahwa Khashogi dibunuh di dalam gedung konsulat. Hal itu pun telah dikonfirmasi oleh pihak Kerajaan Arab Saudi di Riyadh. Namun, belum ada kejelasan terkait bagaimana Khashoggi meninggal dan dimana jasadnya sekarang. Kabar tentang itu masih simpang-siur.
BACA JUGA: MBS Buka Suara soal Kasus Jamal Khashoggi
Aktay menyoroti konsulat yang seharusnya menjadi tempat aman, namun jnyatanya malah jadi tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan. Menurutnya, ini bisa merusak kepercayaan warga kepada perwakilan pemerintah.
“Jika konsulat ini berubah menjadi tempat di mana orang dengan mudah melakukan pembunuhan dan menutupinya, maka orang akan kehilangan kepercayaan mereka,” tandasnya.
Aktay juga menyayangkan sikap Saudi yang dianggapnya telah mengeksekusi Khashoggi tanpa alasan tindak kejahatan. Sebab, yang dilakukannya hanyalah menentang kerajaan tanpa menyuarakan sebuah pemberontakan. []
SUMBER: CNN | ANADOULU