Oleh: Irma Irawati
(Penulis Novel Gia, The Diary of A Little Angel)
# Turut Berduka untuk semua penumpang Lion Air.
Sejatinya, kematian adalah guru yang mengajarkan, bahwa dalam hidup ini harus selalu siap menelan kepahitan yang paling pahit. Bahwa dalam perjalanan ini, ada yang harus selalu diingat, yakni pemutus segala kenikmatan.
Dan kesedihan mengenai kematian yang menjadi pembicaraan hari ini, terasa begitu dekat. Sampai-sampai, seharian ini tak bisa membendung deraian air mata. Apalagi saat melihat tanda pengenal seorang bapak, juga barang barang lainnya.
“Iya Mi, karena kita bagian dari mereka, biasa bertugas seperti mereka, banyak keluarga kemenkeu yang rutinitasnya seperti mereka” jawab suami, saat cerita apa yang saya rasakan.
Kesedihan kali ini benar benar mendalam. Meski sudah sering kami menemukan kabar duka dari teman teman suami yang meninggal saat bertugas.
Saat di Bandung, pernah takziah ke teman suami yang wafat. Ia mengalami kecelakaan di daerah Cipatat, saat hendak pulang akhir pekan ke tengah keluarga di Bandung, setelah hari harinya dinas di Sukabumi. Jalanan Cipatat yang berkelok tajam dan licin, diguyur hujan, menjadi saksi perjuangannya.
Lalu masih di Bandung juga, tak ada hujan tak ada angin, mendadak dapat kabar, teman sekantor suami yang sedang perjalanan dinas dalam kota, mobilnya tertimpa pohon tumbang. Padahal Subuhnya, ia sempat mengantar istrinya ke bandara, untuk bertugas ke Jakarta. Dan ia lanjut ke tempat tugas. Namun di daerah Taman Sari, pohon tumbang itu menjadi perantara selesainya jalan cerita ia di dunia.
Dan beberapa bulan lalu, kembali takziah, menengok atasan suami yang meninggal saat tengah bertugas di Medan. Ditemukan di kamar mandi hotel tempatnya menginap selama tugas, tengah menyandarkan kepalanya ke bathtub seperti menahan sakit. Padahal rencananya, bulan berikutnya ia akan mengantar putra sulung ke jenjang pernikahan.
Kabar demi kabar kematian terus datang silih berganti. Dan kabar yang diterima hari ini adalah yang paling memilukan.
Sempat terdengar anak-anak nyeletuk, “Jadi takut juga yaa naik pesawat.”
“Tak perlu takut, kematian itu… jika sudah waktunya pasti akan datang. Tak peduli lagi naik kereta, pesawat, mobil, bahkan saat di tempat tidur pun, kematian tak bisa dihindari.”
“Ummi dewasa,” celetuk Moi, anakku.
Ummi kira, Moi menanggapi ucapan ummi. boro udah kaget dengan responnya. Eh, ternyata ada lanjutannya.
“Iya, Ummi dewasa, aa remaja dan moi anak kecil.”
Hadeuuh, Moi. Padahal ummi sama aa lagi berbincang tentang kematian.
Kematian selalu menjadi pelajaran paling berharga. Tapi hari baru kembali datang, lalu kita lupa lagi. Sampai kembali ditegur dengan kabar kematian lainnya. Astaghfirullaaah. Kerap mengambil pelajaran dari kematian, tapi kembali lupa untuk bersiap. Saat kematian datang, kita memang seperti orang tenggelam yang tak bisa ditemukan lagi. benar benar terputus dengan segala yang kita cintai. []