Oleh: Imam Muchani, S.H.I, M.H
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sungai Menang, OKI /Pernah Meneliti Tentang Hizbut Tahrir Indonesia
BEBERAPA hari yang lalu, saat memperingati Hari Santri Nasional ke-4, Tanggal 22 Oktober 2018. Tanah air kita digaduhkan dengan munculnya video pembakaran bendera hitam oleh sekumpulan orang yang memakai pakaian Banser. Menjadi gaduh karena didalam bendera itu terdapat tulisan kalimat tauhid la illaha ilallah Muhammadur Rasulullah. Sebagian umat Islam menyebutnya sebagai bendera Tauhid, sebagian lain menyebutnya sebagai bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia.
Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-0028.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan atas nama Hizbut Tahrir Indonesia, dan diperkuat dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Maka, secara legalitas formal keberadaan HTI telah resmi dibubarkan.
BACA JUGA: Pengibaran Bendera Tauhid di Poso, Polda Sulteng: Pelaku Masih Kita Identifikasi
Sebagai orang yang pernah meneliti Hizbut Tahrir dalam bentuk tesis berjudul “Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir (Peluang dan Tantangan Penerapannya di Indonesia” tahun 2017. Maka, merasa perlu membahas ini agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara umat Islam yang dapat mengakibatkan perpecahan umat dan bangsa Indonesia.
Untuk memahami Hizbut Tahrir Indonesia (selanjutnya ditulis HTI) kita harus bisa membedakan dua pokok kajian utama, yaitu: kajian menurut ilmu Hukum Tata Negara dalam hal ini menurut pandangan pemerintah Indonesia selaku pemangku kekuasaan dan kajian menurut ilmu Hukum Islam (hukum Syariat).
Menurut pandangan pemerintah Indonesia keberadaan HTI sangat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena HTI memiliki paham konsep khilafah. Dalam buku-buku literatur yang dikeluarkan oleh HTI, khilafah mempunyai makna kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin didunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam kesegenap penjuru dunia. Konsep khilafah ini tidak menganal istilah batas-batas wilayah seperti bentuk Negara-negara saat ini. Jadi menurut pandangan HTI, umat Islam hanya bisa jaya dan disegani didunia kalau berada dalam satu pemerintahan tunggal yang dipimpin oleh satu pemimpin yang disebut dengan khalifah. HTI melihat, kejadian-kejadian hancurnya negara Islam seperti Afganistan, Irak, Suriah atau pembantaian Muslim Rohingnya tidak akan terjadi apabila umat Islam kompak dibawah satu pemerintahan yang kuat yang disebut dengan Khilafah. HTI juga melihat bahwa konsep khilafah ini sudah teruji, karena sudah pernah dipraktekkan pada masa sahabat khulafaurrasyiddin sampai masa dinasti-dinasti Islam seperti Dinati Muawiyah, Abbasiyah, Fatimiyah sampai masa Turki Usmani. Bila melihat konsep khilafah demikian, maka menjadi wajar dan sangat tepat apabila pemerintah Indonesia membubarkan HTI, karena jelas akan merongrong keutuhan NKRI, sedangkan NKRI sudah final, harga mati.
Namun, apabila melihat pandangan HTI dari sisi pandangan syariat Islam, menyatakan HTI sesat atau bahkan menganggap HTI telah kafir sangatlah tidak tepat. Sebab, dalam mengambil setiap keputusan HTI selalu berdasarkan pada al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Sebagaimana umumnya dasar hukum yang digunakan dalam syariat Islam. Seperti contoh sistem khalifah ini berdasarkan kepada Firman Allah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah:30)
Selain hal diatas, pemikiran HTI tidak hanya “melulu” membahas masalah khilafah saja, HTI juga membahas tentang fikih (hukum-hukum Islam), Jinayah (hukum pidana Islam), siyasah (ilmu politik Islam), muamalah (ilmu ekonomi Islam), al-Qodha (pengadilan), Majlis Syuro (lembaga Demokrasi) dan ilmu-ilmu syariah lainnya. Semua pemikiran tersebut selalu berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadist. Maka menjadi tidak aneh ketika HTI membuat simbol bendera baik bendera yang biasa disebut dengan al-liwa bendera berwarna putih dan panji-panji perang yang disebut dengan ar-royah berwarna hitam. Kedua bendera dan panji tersebut didalamnya bertuliskan kalimat tauhid la ilaha ilallah muhammadur rasulullah, (hal ini terdapat dalam buku pegangan dan buku yang dikeluarkan HTI “Sistem Pemerintahan Islam”, Karangan Abdul Qaddim Zallum tahun 2002 hlm. 194 juga buku “Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), tahun 2005, hlm. 283-284).
Lalu, kenapa HTI membuat bendera seperti itu, karena menurut HTI itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa panji Rasulullah SAW berwarna hitam sedangkan benderanya berwarna putih”. (HR. Ibnu Majah)
Disinilah titik letak pangkal perdebatan mengenai pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat tauhid itu. GP Ansor (Banser) melihat itu sebagai bendera HTI sementara kelompok umat Islam lain menganggap itu murni bendera tauhid. Lalu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kedua-duanya bisa benar juga bisa juga salah. Banser yang telah membakar bendera itu bisa jadi benar karena sering melihat HTI (sebelum dibekukan) sering membawa bendera itu dalam aksi-aksi demonya (jejak digital membuktikan). Tapi Banser bisa juga salah karena telah membakar bendera itu bahkan memvideokannya sehingga menjadi viral dan membuat gaduh anak bangsa. Padahal dalam sistem aturan hanya instansi tertentu yang diperbolehkan menghilangkan atau melenyapkan bukti-bukti suatu organisasi terlarang. Banser tidak berhak untuk itu.
Kelompok umat Islam lain (baca: kelompok pembela tauhid) bisa jadi benar karena dalam bendera yang dibakar itu tertulis lengkap kalimat tauhid, dan ada kekhawatiran itu akan menjadi contoh yang tidak baik dikemudian hari seandainya ada orang-orang yang tidak suka pada Islam kemudian membakar bendera atau simbol-simbol Tauhid, lalu orang yang membakar itu berkata: yang saya bakar bendera HTI atau bendera ISIS, kamu mau apa? Padahal nyata-nyata didalam bendera itu tidak ada tulisan HTI atau ISIS bahkan al-Qaeda. Kelompok-kelompok terlarang yang sering menggunakan simbol-simbol Islam. Lalu kelompok ini bisa jadi salah karena terlalu reaktif bahkan sudah banyak yang melakukan demo-demo padahal Pengurus GP Ansor telah meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi, penulis melihat sepertinya umat Islam sekarang ini sangat berat untuk menjadi seorang pemaaf. Padahal kasus ini sudah ditangani oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Polri. Marilah kita percayakan hal ini kepada Polri yang memang telah diberi wewenang oleh negara untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti ini. Padahal seandainya terjadi perpecahan yang rugi umat Islam sendiri dan juga bangsa ini.
Lalu apa hubungan HTI dengan Syekh Siti Jenar? Dalam sejarah Islam di Nusantara, Para Wali Songo berpendapat untuk menopang penyebaran dakwah Islam yang efektif dan masif perlu adanya institusi kekuasaan. Maka, Para Wali Songo dan Raden Fatah sepakat mendirikan Kerajaan Demak. Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Disaat bersamaan muncullah Syekh Siti Jenar (Raden Abdul Jalil) yang menyebarkan ajaran tasauf yang kita kenal dengan ajaran manunggaling kawulo gusti (penjawaan dari ajaran Wahdatul wujud) atau dalam bahasa Indonesia diartikan menyatunya Zat Tuhan dengan Makhluk (manusia). Ajaran lain dari Syekh Siti Jenar yang paling kontroversi adalah terkait tentang konsep hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia didunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Dampak dari ajaran ini adalah membuat orang malas dalam berusaha karena hidup hanya menunggu mati. Menjadikan manusia kurang produktif. Padahal pada saat itu, dibutuhkan orang-orang yang suka bekerja keras untuk membangun penyebaran Islam yang disokong oleh kerajaan Demak. Sehingga para Wali Songo khususnya Sunan Kali Jogo melihat ajaran Syekh Siti Jenar ini sangat berbahaya terhadap kemajuan dakwah Islam. Jadi yang menjadi kajian disini adalah semata-mata kajian ilmu syariat dan ilmu siyasah (politik) untuk kemaslahatan yang lebih luas.
BACA JUGA: Massa Bela Bendera Tauhid: Jangan-jangan Pelakunya bukan Banser tapi PKI
Setelah beberapa kali melakukan diskusi antara Wali Songo dan Syekh Siti Jenar. Akhirnya, sampai pada suatu kesimpulan bahwa Syekh Siti Jenar tidak mau meninggalkan ajarannya karena merasa tidak melanggar ajaran Islam terutama dari sisi ilmu hakikat. Sedangkan para Wali Songo mengangkap Syekh Siti Jenar telah melanggar syariat disamping belum waktunya mengajarkan ilmu hakikat untuk orang-orang yang baru masuk Islam.
Penulis melihat, dengan pertimbangan bahwa Syekh Siti Jenar telah melanggar syariat (ajaran penyatuan dengan Tuhan) dan belum waktunya mengajarkan ilmu hakikat serta intrik bumbu politik kekuasaan berlabel kemaslahatan dakwah Islam yang lebih luas maka Syekh Siti Jenar harus dihukum, dalam beberapa literatur disebutkan Syekh Siti Jenar dihukum pancung.
Pertanyaannya, benarkah ajaran Syekh Siti Jenar sesat? Menurut penulis belum tentu, sebab bila ditinjau dari kaidah ilmu hakikat ajaran Syekh Siti Jenar tidak sepenuhnya salah, karena ajaran manunggaling kawulo gusti (Wahdatul wujud), bermakna bahwa didalam diri manusia itu terdapat roh yang berasal dari Tuhan, maka manusia dimungkinkan bisa menyatu dengan Tuhan, tentu bukan dari sisi roh tapi dari jasad. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya Roh-KU. Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. (QS. Shaad. 71-72)
Jadi hubungan Hizbut Tahrir Indonesia dan Syekh Siti Jenar adalah menurut pandangan syariat dan hakikat kedua-duanya belum tentu salah (bisa jadi malah benar) tapi bila dilihat dari sisi Kekuasaan, pemikiran kedua-duanya sangat berbahaya, bisa mengancam keberlangsungan sebuah negara dan kerajaan yang berdaulat. Jadi apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemenkum dan HAM dan Kerajaan Demak saat itu melalui Wali Songo sebagai penjaga kedaulatan, membubarkan HTI dan menghukum Syekh siti Jenar sudah sangat tepat. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.