Oleh: Muntarsih Asih, moentarsih@gmail.com
TERDAPAT sebuah masjid di suatu kampung. Tidak begitu besar dan tidak begitu mewah. Bangunannya sederhana, tidak semodern masjid-masjid di kota. Usia masjid tersebut sudah puluhan tahun. Hanya sedikit renovasi di bagian atap teras dan sedikit pugaran pada bagian kubahnya. Masjid itu selalu tampak sepi. Desa yang cukup luas dengan penduduknya yang berjumlah ratusan hanya diwakili satu masjid sebagai tempat ibadah. Agama mereka tentu saja adalah mayoritas Islam.
Jika tiba waktu dikumandangkan azan shubuh oleh seorang aki-aki yang usianya melebihi separuh abad, dengan suara yang serak-serak memecah keheningan pagi, dengan harapan para jamaah akan datang berduyung-duyung dengan sarung serta sajadah di pundak (laki-laki).
Juga balutan mukena putih dengan tentengan tas berisi sajadah (perempuan). Namun, sungguh sangat disesali jamaah yang hadir cuma segelintir orang. Satu shafpun jauh dari penuh. Tiga, empat orang dan jika mencapai lima jamaah itu sudah jumlah yang cukup signifikan. Itu pula hanya terisi oleh para manula yang usianya di atas lima puluhan.
Lantas kemana yang lainnya? Di mana para generasi mudanya? Tidakkah mereka mendengar suara azan di telinga mereka? Ataukah barangkali mereka terlalu sibuk di sore hari hingga tidak bisa meninggalkan kasurnya yang empuk? Allah Swt memanggil sholat di waktu shubuh, mereka terkesan cuek.
Tiba waktu dhuhur masjid berbunyi untuk mengabarkan waktu sholat dhuhur. Jamaah bisa dihitung dengan jari. Alasan sebagian orang cukup simple, sedang bekerja. Masjid bergema di waktu ashar menandakan sholat ashar telah tiba. Mereka beralasan pulang kerja sedang capek butuh istirahat. Allah Swt diabaikan untuk yang kesekian. Saat sholat magrib masjid sederhaa itu masih tak lelah-lelahnya memanggil mereka para penduduk kampung dengan lengkingan suara azan.
Mereka tetap enggan meninggalkan peraduannya. Waktunya belajar, waktunya preppare untuk besok pagi dan alasan-alasan lain. Masjid sederhana itu masih menunggu mereka untuk menunaikan sholat isya’. Jamaah yang datang masih tetap orang yang sama. Kemana yang lain? Tidur. Besuk kan harus bangun pagi-pagi untuk bekerja. Masjid sederhana itu akan memaklumi jika mereka membuat seribu alasan sehingga lalai mengunjunginya. Pada momen sholat jum’at jamaah laki-laki yang hadir hanya cukup untuk mengisi satu shaf saja. Tidakkah juga mereka nengenal sholat jum’at? Padahal Allah menanti mereka di sana. Menanti munasabah hamba-hambanya.
Apakah mereka sudah lupa dengan Tuhannya? []