SEBAGAI pembawa risalah Tauhid, Nabi Muhammad SAW dipertemukan dengan kenyataan masyarakat yang beragam. Namun, Rasulullah SAW selalu berusaha menghadapi semua perbedaan dan permasalahan yang terjadi dengan bijak. Baik itu dari para kepala suku, raja-raja luar Arab, hingga kaum budak dan rakyat jelata.
Karena yang dihadapi beragam, maka Rasulullah SAW menyikapinya dengan cara yang berbeda pula. Seperti dalam kasus perjumpaan Rasulullah dengan seorang Badui gunung, yang merupakan suku yang gemar mengembara. Kepada Rasulullah ia mengaku telah memeluk agama Islam. Ibadah pun telah dikerjakan.
BACA JUGA: Kenapa Nabi Isa Kembali ke Dunia dan Bukan Nabi Muhammad?
Rasulullah mengiyakan. Lalu melempar pertanyaan, “Jadi engkau beriman bahwa tiada Tuhan selain Allah?”
“Aku percaya,” sahut orang Badui.
“Engkau tahu, di manakah Allah bertempat tinggal?” tanya Rasulullah menguji.
“Tahu!”
“Di mana?”
“Di sana, di puncak gunung,” ujar si Badui dengan yakin.
Kehidupan gurun pasir yang keras dan lingkungan yang jauh dari peradaban kota saat itu membuat jawaban si Badui amat sederhana. Tapi Rasulullah hanya diam. Tak sedikit pun menyanggah pernyataan orang A’rabi berperawakan hitam ini.
BACA JUGA: Mengenal Kefir; ‘Yogurt’ Warisan Nabi Muhammad
Nabi menghormati jawaban tersebut karena beliau mengerti betul batas kemampuan akal orang Badui. Sikap ini pula yang menyebabkan jawaban yang disampaikan Nabi bisa berbeda meskipun dari pertanyaan yang sama. Selain berkepribadian tegas, dalam berdakwah Rasulullah sangat mempertimbangkan psikologi dan kondisi masyarakat, relevansi, dan konteks yang dihadapi. [] (Mahbib Khairan/nu.or.id)