SAAT memasuki bandara, terlihatlah 2 patung sosok proklmator Republik Indonesia, Soekarno & Hatta. Begitu lekat kedua nama tersebut, seakan-akan seperti tak bisa dipisahkan ketika menyebut salah satunya. Begitu lekatnya dalam benak pemuda seperti saya,yang tidak pernah hidup sezaman dengan mereka, hingga dalam benak banyak pemuda saat ini mereka seperti dua jiwa yang menyatu, yang selalu kompak, saling sepaham.
Dwi tunggal, begitu julukannya. Tapi siapa sangka ternyata mereka adalah dua pribadi yang berbeda, pikiran yang berlawanan, dan seringkali tidak sepaham, bahkan berseteru. Banyak kisah mengisi kata dwi tunggal tersebut, baik sebelum menjadi Dwi tunggal ataupun setelah tanggalnya Dwi tunggal. Sedikit Kisah –kisah yang mengisi dwi tunggal itu mungkin yang akan memberi kita pandangan sekaligus kenangan yang berbeda tentang mereka.
Tak jelas kapan sebutan Dwi tunggal muncul, yang kita tahu hanya kapan ia berakhir. Dalam hukum tata negara pun tak ada istilah dwi tunggal ini. Yang kita ketahui mungkin cara bekerja Dwi tunggal ini. Dalam memutuskan persoalan-persoalan besar bangsa kala itu, mereka berdua bermusyawarah terlebih dahulu, masing-masing saling mengeluarkan pendapatnya, setelah terdapat kata sepakat, pendapat tersebut kemudian dikeluarkan sebagai pendapat bersama. Dan begitu pendapat tersebut sudah dikeluarkan, akan dibela oleh keduanya. Itulah Dwi tunggal.
Namun persoalannya tidak mudah mengeluarkan kata sepakat bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Pribadi keduanya saja bertolak belakang, Bung Karno, yang terkenal, flamboyan, humoris dan berapi-api, terutama jika berpidato di depan massa yang banyak, ia beragitasi dan mengeluarkan semboyan yang membakar dan menggelegar. Sungguh 180 derajat berbeda dengan Bung Hatta yang terkenal tidak banyak bicara, berpendirian teguh dan rendah hati. Bung Hatta berpidato dengan datar, namun tegas, dan terstruktur. Kita tak akan menemukan ia berpidato dengan emosi. Namun Keduanya dikenal pernah punya pidato yang mahsyur. Bung Karno dengan pledoi Indonesia Menggugat-nya di pengadilan Bandung ketika diadili pemerintah kolonial Belanda. Bung Hatta tak kalah hebat dengan Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) di pengadilan Den Haag yang terkenal dengan ucapan, “Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada dijajah bangsa lain”.
Sejak awal pun bukannya mesra hubungan Bung Karno dan Bung Hatta itu, sejak masih di Belanda, Bung Hatta memperhatikan sepak terjang Bung karno, kritik pun sering ia sampaikan pada PNI–nya Soekarno. Salah satunya ketika ia mengkritik Bung Karno yang memang senang berpidato di depan massa,
“ Jika Soekarno berpidato, tidaklah cukup bagi pendengarnya untuk sekedar bertepuk tangan dengan ramainya. Tidaklah cukup jika orang sekedar menjadi Soekarnois. “
Bung Hatta dalam berpolitik memang lebih mengutamakan pendidikan para kader ketimbang memobilisasi massa seperti Bung Karno.
Hubungan mereka membaik dan menyatu ketika keduanya sama-sama dibebaskan pemerintah jepang dari pembuangan dan mereka mulai bekerja sama dengan pemerintah penjajah Jepang waktu itu. Sama-sama menyiapkan kemerdekaan RI kemudian keduanya mejadi proklamator Republik Indonesia. Bersatunya pribadi Soekarno dan Hatta menjadi proklamator, menyisakan tanda tanya bagi para pemuda saat itu, apa mungkin dua pribadi yang begitu berbeda dapat bersatu? Sejenak kita Mengutip kesaksian dari Burhanudin Harahap, bekas perdana menteri termuda RI, yang saat itu masih menjadi mahasiswa. Bung Karno dan Bung Hatta mengundang para pelajar (Mahasiswa) untuk bertemu mereka. Saat Burhanudin sedang memberikan kata sambutan, Bung Karno spontan angkat bicara, merangkul Bung Hatta didepan para hadirin, dan berkata, “Ini bukti kami bersatu.” Tentu saja tindakan tokoh proklamasi ini menenangkan para pemuda.
BACA JUGA: Benarkah Obama Kecil Pernah Salaman dengan Presiden Soekarno?
Bicara tentang proklamasi, ada satu janji menarik Bung Hatta, bahwa ia akan menikah jika Indonesia sudah merdeka. Dan janji itu benar-benar ditepatinya. Saat itu ia berusia 45 tahun, dan Bung Karno-lah yang ia minta untuk melamarkan seorang gadis. Bung Karno, ditemani sahabat karibnya, dr. Soeharto saat itu datang larut malam ke rumah sang gadis.
Diterima oleh Ny. Rachim, Ibu sang gadis, Bung Karno menyampaikan maksudnya. “Begini”, kata Bung karno, “Saya ingin melamar.””Melamar siapa?” sahut Ny. Rachim. “Melamar Rahmi” jawabnya. “Untuk siapa?” sahut Ny. Rachim.“Untuk teman saya, Hatta”, kata Bung Karno dengan tenang.
Ketika itu Ny. Rachim berinisitif untuk menanyakan terlebih dahulu pada anaknya, Rahmi, yang saat itu berusia 19 tahun. Sewaktu Ny. Rachim masuk ke kamar anaknya, Rahmi langsung bertanya, “Siapa yang datang, Mam?” “Bung Karno. Dia datang untuk melamar buat kamu.” Jawab Ny. Rachmi.“Buat saya?, Mahasiswa sinting mana yang mau melamar saya?”, cetus Rahmi yang akrab dipanggil Yuke. “Ini bukan mahasiswa! Dia orang baik, Mohammad Hatta.”
Ketika Yuke keluar kamar menemui Bung Karno, dia berkata, “Oom, saya merasa takut.”
“Takut apa?”, tanya bung karno.
“Saya ini orang bodoh, dia terlalu pandai,” jawab Rahmi.
Bung karno kemudian menjawab, “Tidak apa-apa, pokoknya dia orang baik, dia pemimpin yang baik dan dia sahabat saya yang baik. Kamu tidak akan kecewa, sebab Hatta adalah orang yang berbudi luhur, dan mempunyai prinsip yang tegas.” Akhirnya, Bung Hatta menikah tiga bulan setelah Indonesia Merdeka. Maskawinnya adalah buku Alam Pikiran Junani karya Bung Hatta.
Kekompakan mereka semakin terasa pada sidang KNIP tahun 1947, saat membahas persetujuan Linggarjati. Saat itu untuk meratifikasi persetujuan Linggarjati butuh persetujuan parlemen, namun terjadi perdebatan sengit di parlemen yamg mengarah pada perpecahan. Hingga akhirnya Bung Hatta membela Soekarno, dan berpidato, yang dikenang sebagai pidato Bung Hatta yang paling emosional. Saat itu ia membela Bung Karno dan berkata, “Terima persetujuan Linggarjati atau pilih presiden dan wakil presiden lain!” Keberanian ini membuat persetujuan Linggarjati akhirnya diterima oleh KNIP.
Hatta kembali meledak saat situasi di tanah air penuh kegentingan tahun 1947. Pemerintah berniat untuk melaksanakan Perjanjian Roem-Royen, namun pihak tentara, dipimpin Jenderal Soedirman, menolak perjanjian itu. Situasi mengalami jalan buntu, hingga akhirnya Pak Dirman tak bisa lagi ikut pemerintah dan ingin mengundurkan diri saja. Bung Karno sudah menjelaskan semuanya namun tak mempan. Hingga akhirnya Bung Hatta meledak tangisnya dan berkata,
“Kalau saudara-saudara berhenti, maka lebih dahulu Soekarno-Hatta berhenti, terserah APRI memimpin perjuangan, Soekarno-Hatta akan mengikuti sebagai rakyat.”
BACA JUGA: Kala Soekarno Bicara Hubungan Antara Negara dan Agama
Akhirnya Pak Dirman tak jadi mengundurkan diri saat itu, dan mengikuti pemerintah. Namun puncak Dwi tunggal adalah saat Madiun Affair yang dikenal dengan pemberontakan PKI September 1948. Pasukan Brigade 29 melakukan aksi sepihak dan menyerang divisi siliwangi, setelah menguasai kota Madiun. Mereka mendeklarasikan front nasional . Pemerintah menganggap Musso sebagai dalangnya. Maka pada malam 19 September 1948, Bung karno berpidato di radio dan mengajukan dua pilihan, : “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang akan memimpin RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun.”
Itulah puncak kekompakan Dwi tunggal, Indonesia disibukkan dengan intrik-intrik politik dalam negeri. Hingga akhirnya timbul ketidakcocokan lagi antara Bung Karno dan Bung Hatta. Salah satu yang diingat oleh Burhanudin Harahap adalah pertentangan di sidang kabinet antara Bung Karno dan Bung Hatta mengenai pencalonan KASAD baru, yang mengakibatkan jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo.
Sidang itu dibuka dengan suasana hening. Bung Karno dan Bung Hatta duduk bersama di sebuah bangku panjang, tapi berjauhan. Masing-masing duduk di ujung kiri dan kanan bangku panjang tersebut. Diantara mereka tergeletak peci Bung Karno, yang seakan member garis tegas yang memisahkan pendirian mereka berdua. Burhanudin berpikir, mungkin Bung Karno kepanasan, hingga pecinya diletakkan di tengah-tengah mereka.
Bung Hatta angkat bicara pada sidang itu. Setelah itu sidang kembali hening. Untuk memecah keheningan itu, Burhanudin bertanya pada Bung Karno, apakah beliau mau bicara. Dengan wajah yang pucat dan emosi, ditatap oleh semua hadirin peserta sidang kabinet, Bung Karno memuntahkan kejengkelannya,
“Sudah saya bilang, saya tidak mau bicara. Saya sudah minta supaya Kepala Staf diundang, supaya saya bisa bicara dengan mereka, sebagai seorang bapak terhadap anak.“
“Apa?!” Tiba-tiba Bung Hatta menyela dengan nada yang tinggi. “Bicara sebagai bapak dengan anak? Tidak bisa! Anak minta maaf dulu, baru kita bisa bicara sebagai bapak dengan anak. Ik spreek net met een rebel! (Saya tidak berbicara dengan pemberontak)”, tambah Bung Hatta.
“Siapa rebel?!” sanggah Bung karno. Saat itulah Burhanudin tahu, bahwa Dwi tunggal sudah memperlihatkan tanda-tanda yang memperihatinkan. Memang tak benar, tak lama kemudian, Bung Hatta, pada 20 Juli 1956, menulis surat pada ketua parlemen,
“Setelah DPR yang dipilih oleh rakyat mulai bekerja, dan konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden.” Tidak ada yang menyangka Bung Hatta akan mengundurkan diri, tapi orang tahu, Dwi Tunggal memang sudah tidak bisa berfungsi lagi, mereka memilih jalan yang berbeda.
Bukan tak pernah beberapa pihak mencoba mendamaikan, tapi Bung Hatta adalah orang yang berpendirian teguh. Bahkan Bung Karno sendiri pernah mencoba membujuk Hatta mengubah pendiriannya. Bung Karno meminta Yuke, panggilan istri Bung Hatta, untuk membujuknya.
“….Yuke…coba tolong dong…bilang sama Hatta…jangan mengundurkan diri…!”
Yuke hanya bisa menjawab, “Maaf Oom, apa yang sudah menjadi keputusan Kak Hatta, saya tidak bisa ikut campur, karena itu sudah prinsipnya.”
Bung Karno hanya diam, karena ia juga tahu betapa kerasnya Bung Hatta memegang prinsipnya.
Selanjutnya perbedaan pandangan politik Bung Hatta yang berseberangan dengan Bung Karno , membuatnya berkali-kali mengkritik Bung Karno. Dalam salah satu suratnya kepada Bung Karno, yang sempat dibaca A. Halim, Bung Hatta menulis,
“Jang saja ingini memperingatkan kepada Saudara ialah bahwa, apabila konsepsi Saudara itu akan disuruh terima oleh partai-partai dan masjarakat dengan djalan terror dan intimidasi, hasilnja akan djauh berlainan daripada, jang saudara maksud. Dari usaha mencari “perdamaian nasional” ia akan menimbulkan perpetjahan dan mungkin menimbulkan perang saudara…”
Puncaknya adalah kritikan Bung Hatta pada Bung Karno, melalu sebuah buku kecil, “Demokrasi Kita”, yang dianggapnya presiden sudah bertindak tidak sesuai dengan UUD, waktu presiden mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet.
Betapa pun, perseteruan mereka di bidang politik, mereka tak pernah mencaci secara pribadi. Guntur Soekarno Putra, ingat sebuah kejadian, saat hubungan Bung Karno dengan komunis sedang dekat, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik PKI. Pada satu acara mereka mengadakan pembacaan teks proklamasi yang pada alenia pentupnya hanya disebut nama Soekarno, tanpa Hatta.
Saat Makan siang dengan ayahnya, Guntur bertanya,“Kok bapak kelihatannya sedang…”
“Sedang apa???” sela Bung Karno. “Sedang marah, hah?!”“Memang aku sedang marah…! Bukan, bukan sama kau…,”
“Sama pemimpin PKI!!!”
“Orang boleh benci pada seseorang! Orang boleh dendam pada seseorang! Boleeeh entah apalagi!”
“Kamu tahu? Aku kadang-kadang jedag dengan politiknya Hatta!”
“Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!!” “Tapi menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!!!”, teriak Bung Karno. Sambil berdiri ia lalu meninju meja makannya.
Mungkin diantara mereka sekalipun “saling gebung” dalam soal pendirian politik, terdapat pengertian yang mendalam, tak sudi mencaci pribadinya. Bahkan ketika Bung Karno mengalami masa kejatuhannya, Bung Hatta, menurut Mochtar Lubis, hanya berucap, “Soekarno salah perhitungan dengan orang komunis.” Itulah kata-kata Hatta yang paling keras terhadap Bung Karno, sejauh yang ia tahu.
Hubungan mereka berdua justru sangat dekat sebenarnya. Situasi Indonesia berubah. Soekarno kemudian menjadi tahanan. Saat Guntur mau menikah, dan Bung Karno ditahan oleh pemerintah Soeharto, ia meminta izin pada Kodam V Jaya agar bisa hadir sebagai wali pernikahan anaknya. Tapi permohonan izin itu ditolak. Waktu Guntur menyampaikan kabar penolakan ini, Bung Karno sedang terbaring lunglai di kursi lusuh, di Wisma Yaso.
“Oh, kau Tok? Bagaimana dengan izin?”, tanya Bung Karno. Guntur hanya menggeleng, sambil menitikkan air mata. Bung Karno mengangguk, lalu mengepalkan tinju ke dadanya, mengisyaratkan agar Guntur tetap tabah.
“Sini kau mendekat…”, bisik Bung Karno. “Minta Pak Hatta…jadi walimu.”
“Mana Pak Hatta mau? Aku nggak berani memintanya, Bapak yakin Pak Hatta mau…?”Tanya Guntur.
Bung Karno mengangguk yakin. “Suruh ibumu menyampaikan permintaan Bapak ini padanya.”
Guntur terbengong. Saat disampaikan pesan ini kepada Bu Fatmawati, Ia langsung menelpon Bung Hatta. Dan Bu Fatmawati mendapat jawaban spontan…”Baiklah, saya bersedia!!”
BACA JUGA: Wanita-wanita di Balik Layar Sejarah I
Dan hubungan unik dua pribadi ini mencapai ujungnya ketika Bung Karno sudah memasuki masa kritisnya. Bung Hatta mengajukan permohonan pada Presiden Soeharto untuk membesuk Bung Karno. Izin di dapatkan. Sore harinya beliau berangkat. Begitu masuk ruangan, Bung Hatta langsung ke tempat tidur Bung Karno, sambil berkata,
“Aa..No..apa kabar?” Bung Karno diam beberapa saat sambil memandangi Bung Hatta. Kemudian berkata, “Hoe Gaat het met jou?”
Tak lama kemudian, beberapa kali air mata beliau menetes ke bantal, sambil memandang Bung Hatta yang terus memijiti lengannya. Beliau malah minta dipasangkan kacamata agar dapat memandang Bung Hatta dengan lebih jelas. Tak ada kata-kata setelah itu. Pertemuan itu berlangsung 30 menit. 30 menit untuk selamanya. Karena beberapa hari kemudian Bung Karno wafat meninggalkan bangsa yang dicintainya. Dwi tunggal memang tak sepaham, juga tak mudah dipahami, dan hanya mereka berdua yang dapat memahaminya.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah (Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa)
SUMBER: JEJAKISLAM.NET