PULAU BURU—Daerah-daerah Indonesia masih banyak yang terpinggirkan. Tak hanya dari sisi perekonomian, akses dan pangan yang terkadang belum mencukupi, dakwah Islam di wilayah ini kadang-kadang terluput dari pantauan masyarakat luar.
Meski sejak lahir mereka telah beragama Islam, namun kurangnya pasokan dai ke tempat mereka menjadi problem tersendiri. Anak-anak hanya sebatas bisa mengeja alif ba ta hingga ya, namun pengucapannya masih kurang fasih. Belum lagi hukum bacaan lainnya yang juga luput diajarkan karena dangkalnya pengetahuan para orangtua mereka.
Kondisi Masjid yang jauh dari kata ramai. Pengelolaan serta manajemen keislaman yang perlu di pupuk lebih baik lagi. Hingga tak jarang, di wilayah tertentu, ternyata masih belum ada Masjid yang terbangun.
Adalah ustadz Ariansyah Nur, dai Wahdah Islamiyah yang mendedikasikan hidupnya untuk berdakwah di Pulau Buru, Kepulauan Maluku sejak 2017 silam. Pulau Buru merupakan pulau terbesar ketiga setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara dan dan Pulau Seram di Maluku Tengah yang memiliki corak topografi berupa perbukitan dan pegunungan. Wilayah yang cukup menantang untuk para dai yang berasal dari luar Maluku.
Ada beberapa kelompok etnis yang menetap di Buru: etnis asli, yakni Buru (baik di pesisir maupun di pedalaman); dan etnis pendatang, yakni Ambon, Maluku Tenggara (terutama Kei), Ambalau, Kep. Sula (terutama Sanana), Buton, Bugis, dan Jawa (terutama di daerah pemukiman transmigrasi). Tidak diketahui data mengenai komposisi penduduk berdasarkan etnis.
Setiap hari dai asal Makassar ini mengajari anak-anak al-Qur’an. Memahamkan para orangtua dengan dakwah secara pendekatan person to person.
“Kita ajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang murni. Perkuat tauhid mereka. Karena pengamalan animisme dan dinamisme disini masih sangat kental,” ujarnya lewat pesan singkat, Selasa (27/11).
Dakwah di daerah terpencil, apalagi minoritas membutuhkan strategi tersendiri. Bagi ustadz Ariansyah, prinsip terpenting dalam berdakwah di pelosok negeri ialah memperkenalkan agama yang membuat hidup masyarakat lebih mudah dan nyaman. Di kantong-kantong kemiskinan, para dai tak cukup hanya mendakwahkan teori-teori mengenai Islam. Pemberdayaan ekonomi, akses pendidikan, dan pelayanan kesehatan menjadi satu hal penting yang perlu dilakukan.
“Mereka sebetulnya punya ghiroh untuk belajar. Akan tetapi, jumlah dai yang belum maksimal kadang menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Tapi Insya Allah, sembari menunggu pasokan dai dari Makassar, Wahdah Islamiyah akan tetap berjuang di tempat ini. Ada tidaknya, tetap akan jalan,” tegasnya.
Melihat kebutuhan tersebut, Syahruddin, Direktur LAZIS Wahdah Islamiyah menilai, pelatihan dai tak cukup hanya membekali mereka dengan kemampuan ceramah. Para dai perlu dilatih agar memiliki keterampilan dan keahlian yang akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat daerah terpencil. Mereka perlu memahami psikologi dan sosiologi masyarakat sekitar.
Penguasaan bahasa daerah juga menjadi bekal yang sangat diperlukan. Selain itu, kemampuan yang ada perlu ditambah dengan keahlian tertentu, misal pengobatan, totok, urut, dan sebagainya. Keahlian dan keterampilan ini sangat diperlukan untuk memberikan akses kesehatan kepada masyarakat.
“mendekati masyarakat tidak melulu soal dalil-dalil. Kita perlu perencanaan yang baik. Program peningkatan ekonomi juga perlu di gagas,” ujar dia. []