WANITA cantik itu duduk di hadapan saya ketika saya membungkus kado baju yang ia beli. Sambil sibuk membungkus kami berbincang tentang anak.
Beliau mempunyai dua anak perempuan. Kami berbincang mulai dari pola didik anak di lingkungan hingga karakter kedua anaknya.
Hingga tibalah kami terlibat dalam sebuah percakapan yang menjadi titik penting sebuah pelajaran besar dimulai.
“Saya berusaha menciptakan kondisi kenyamanan buat anak-anak. Apapun yang saya alami, saya hadapi, cukup saya saja yang merasakan. Jangan anak-anak. Hidup saya untuk anak-anak,” katanya dengan mata teduh dan tetap tersenyum.
“Saya dan suami bukan pasangan harmonis. Ada orang lain dalam kehidupan kami, dan itu terjadi berulang kali. Kadang saya lelah menangis, bahkan untuk bisa duduk berdoa pada Allah rasanya saya tidak lagi sanggup, hingga saya hanya bisa berdoa sambil berbaring. Tapi saya tidak ingin anak anak saya melihat saya. Saya tidak ingin anak-anak terbebani dengan ini semua,” ia bercerita lagi dengan raut tenang.
Mendengar itu, tubuh saya mulai terasa lunglai menahan haru hingga saya menghentikan membungkus kado sesaat.
“Saya ingin anak-anak bangga terlahir dalam keluarga ini seperti halnya saya bangga terlahir dalam keluarga orang tua saya yang tetap utuh sampai maut memisahkan. Saya memilih bersabar, walau hati ini sakit. Semua demi anak-anak.
“Saya memilih menjalani rasa sakit ini buat kebahagiaan anak-anak, supaya anak-anak mendapat kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya. Kalau kebahagiaan saya tidak lagi saya pikirkan,” katanya dengan raut wajah tenang dan kecantikan yang terpancar.
“Apapun yang terjadi saya tetap berusaha menjadi istri yang berbakti walau kadang hati ini menjerit. Rumah tangga ini sudah tidak ada lagi cita-cita, hanya berusaha menjalani yang terbaik hari demi hari buat anak-anak. Itu sebabnya saya semangat pengajian, untuk bekal saya supaya terus bisa bersabar,” katanya lagi.
“Tapi apapun yang saya hadapi sekarang, alhamdulillah saya masih bisa bersyukur karena di luar sana saya masih temukan orang-orang yang memiliki masalah lebih berat daripada saya dan mereka bersabar,” katanya dengan tetap tersenyum. “Bahkan saya pun memaafkan wanita-wanita yang telah menyakiti saya, karena saya tahu hidup saya tidak akan bahagia jika saya tidak memaafkan.”
“Bagaimana caranya punya hati setegar itu, Bu?” tanyaku penuh kekaguman.
Beliau menjawabnya sambil berdiri, “Mungkin ini cara Allah membuat saya selalu berusaha mendekat pada Allah. Kalau ini membuat saya lebih baik, terserah saja suami saya bertindak seperti apa, yang penting bisa mengantarkan saya ke pintu surga.”
Selesai transaksi beliau pulang, meninggalkan saya termangu sendirian.
Hati seorang ibu laksana sebening kaca. Selalu indah namun rapuh. Tapi dalam rapuhnya tetap rela menelan penderitaannya seorang diri demi kebahagiaan anak-anaknya. Walau kebahagiaannya terampas, senyum semunya selalu terkembang karena ikhlas dan imannya.
Barakallahu Fiek wanita cantik berhati emas, yang mengajarkan saya bahwa apapun hal buruk yang kita terima mungkin adalah jalan Allah agar kita selalu mendekat kepadaNya.
Note: Bagi yang membaca kisah ini, sudi kiranya mendoakan beliau untuk kebahagiaannya di dunia dan akhirat serta kesabaran dalam imannya menjadikannya bidadari di surga kelak. Aamiin. []
DISCLAIMER: Tulisan ini secara ekslusif diberikan hak terbit kepada www.islampos.com. Semua jenis kopi tanpa izin akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kami mencantumkan pengumuman ini di rubrik Kolom Ernydar Irfan dikarenakan sudah banyak kejadian plagiarisme kolom ini di berbagai media sosial.