Ustadz. Bagaimana cara bagi seorang hamba untuk menghadirkan niat dan memperbaikinya sebelum dan sesudah amal? Apa saja rambu-rambunya untuk mengetahui apa yang kita kerjakan benar atau murni karena Allah?
Di antara kesibukan seorang muslim yang paling agung adalah memperbaiki niat dan menghadirkannya pada saat memulai amal karena padanya bertumpu diterima atau ditolaknya amal, dan padanya bertumpu baik dan buruknya hati.
Dan barang siapa yang ingin berniat dengan niat yang baik dalam amalnya, harus melihat faktor pendorong yang mengajaknya untuk mengerjakan amal tersebut, sehingga dia bersungguh-sungguh yang menjadi pendorong utama adalah ridho Allah, taat kepada-Nya dan mengerjakan perintah-Nya.
Maka dengan ini niatan itu akan menjadi karena Allah –ta’ala-, kemudian setelah itu ia harus menjaga pendorong utama untuk beramal, murni karena Allah, tidak berpaling darinya di tengah-tengah amal, hati dan niatnya tidak berubah-ubah, tidak berpaling kepada selain Allah, dan tidak dihinggapi kesyirikan lainnya.
Seorang hamba bisa mengenali keikhlasannya dalam beramal, bahwa ia tidak beramal kecuali karena Allah, dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Tidak melakukan amal karena ingin dilihat oleh manusia dan didengar oleh mereka
Imam Bukhori (6499) dan Imam Muslim (2987) telah meriwayatkan dari Jundub berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ يُسَمِّعْ يُسَمِّعِ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ
“Barang siapa yang memperdengarkan (amal) maka Allah akan memperdengarkan hal itu, dan barang siapa yang ingin memperlihatkan (amalnya) maka Allah akan memperlihatkan hal itu”.
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Al Khothabi berkata: “Maknanya adalah barang siapa yang beramal tidak ikhlas, akan tetapi ingin dilihat oleh manusia dan didengar oleh mereka, maka ia akan dibalas dengan hal itu, Allah akan menjadikannya terkenal dan dibuka aibnya, dan menampakkan apa yang ia sembunyikan”.
Dan dikatakan:
“Barang siapa yang beramal untuk mendapatkan kedudukan dan gelar di hadapan manusia, dan tidak ingin beramal karena Allah, maka Allah akan menjadikannya sebagai bahan pembicaraan di tengah manusia yang ia ingin mendapatkan kedudukan dari mereka, namun tidak ada pahala baginya di akhirat”. (Fathul Baari: 11/336)
Al Izz bin Abdus Salam –rahimahullah- berkata:
“Dikecualikan dari anjuran menyembunyikan amal, bagi seseorang yang memperlihatkannya untuk menjadi qudwah atau agar bermanfaat bagi orang lain, seperti menuliskan ilmu”. (Fathul Baari: 11/337)
2. Hatinya tidak bergantung dengan pujian orang atau celaan mereka
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkaata:
“Kapan saja kaki seorang hamba berada pada kedudukan tawadhu’ dan tsabat di dalamnya, maka tekadnya akan meningkat, jiwanya akan tinggi dari sambaran pujian dan celaan, ia tidak bahagia dengan pujian orang lain, juga tidak merasa sedih dengan celaan mereka, inilah sifat orang yang keluar dari hak pribadinya, dan bersiap untuk beribadah kepada Rabbnya dan akan merasakan manisnya keimanan dan kematapan hati”. (Madarikus Salikin: 2/8)
3. Menyembunyikan amal dan merahasiakannya lebih ia cintai dari pada menampakkannya
Dari Ashim berkata: “Abu Wail jika melaksanakan shalat di rumahnya ia menangis menjadi-jadi, dan kalau dunia diberikan kepadanya untuk melakukan hal itu agar dilihat oleh seseorang, maka ia tidak akan melakukannya”. (HR. Ahmad di dalam Az Zuhd: 290)
4. Hendaknya seseorang berusaha untuk menjauhi tempat-tempat yang menjadikannya terkenal dan terpandang, kecuali jika hal itu menyangkut kemaslahatan yang syar’i
Ibrahim bin Adham –rahimahullah- berkata:
“Allah tidak akan percaya kepada orang yang ingin menjadi terkenal”. (Ihya’ Ulumuddin: 3/297)
5. Tidak menambah amal dan memperindahnya agar dilihat oleh orang lain
Dikatakan bahwa ikhlas itu adalah kesamaan amal seorang hamba secara lahir dan batin. Riya’ adalah yang nampak menjadi lebih baik dari pada yang batin. (Madarikus Salikin: 2/91)
6. Selalu menuduh diri sendiri dengan penuh kekurangan, tidak melihat adalah keutamaan pada dirinya, dan mengetahui bahwa keutamaan itu hanya milik Allah, kalau bukan karena Allah maka sudah menjadi hancur
Allah –ta’ala- berfirman:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
النور/ 21
“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nur: 21)
7. Hendaknya memperbanyak istighfar setelah beramal; karena ia merasa dirinya penuh dengan kekurangan
As Sa’di –rahimahullah- berkata:
“Sebaiknya seorang hamba setiap kali selesai beribadah, hendaknya beristighfar kepada Allah karena kekurangan dirinya, dan bersyukur kepada-Nya atas segala petunjuk-Nya, tidak melihat bahwa dirinya telah menyempurnakan ibadah, dan telah mempersembahkannya kepada Tuhannya, sehingga dia mendapatkan kedudukan yang tinggi, yang demikian ini sungguh mengandung murka dan reaksi, sebagaimana yang pertama mengandung penerimaan dan petunjuk untuk melakukan amal lainnya”. (Tafsir As Sa’di: 92)
8. Merasa bahagia dengan taufik dari Allah yang menjadikannya mudah beramal sholeh
Allah –ta’ala- berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
يونس/ 58
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus: 58)
Barang siapa yang memperhatikan hal itu di dalam amalnya, maka semoga termasuk orang-orang yang ikhlas
Adapun memastikan ikhlas dalam amal, maka hal itu tidak ada jalannya, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui hal itu, akan tetapi seorang hamba hendaknya melaksanakan sebab-sebab keikhlasan, selalu memohon taufik dari Allah agar beramal dengan baik, dan dirinya tidak memastikan telah melakukannya dengan ikhlas, juga tidak dari orang lain. Wallahu A’lam. []
SUMBER: ISLAMQA