SUATU ketika, akan tiba saatnya dirimu mengerti percakapan-percakapan yang selama ini kita lakukan itu salah. Membicarakan masa depan termasuk anak-anak dalam keadaan birahi cinta jelas sebuah kebodohan terencana.
Bukankah kita masih belum menyatu dalam karib rumah tangga, seharusnya sadar ujaran yang menyaran maksud kecintaan berbalut syahwat mesti ditiadakan.
Aku baru tersadar salah satu zina yang kerap tiada terasa ialah zina suara, di mana ujaran-ujaran mesra lebih menjurus pada gelora nafsu yang menjantung di dalam dada.
Dari itu, mulai detik ini kucukupkan percakapan-percakapan di antara kita. Bila ingin saling bercumbu rayu lewat kata, datanglah sebagai penawar ikhtiar menyempurnakan separuh agama.
Menikahlah denganku, maka akan kusambut kedatanganmu dengan sukacita. Dalam cinta, kerinduan, serta kasih sayang di relung jiwa.
Adakah dirimu meyakini kalau akulah kebahagiaan yang selama ini didamba? Jika meyakini, mari satukan rasa kita dalam perbuatan mencinta dan dicinta yang sesusai dengan perintah agama.
Sungguh, menumbuhkan cinta sesudah pernikahan menjadi pilihan lebih bijaksana. Yakinlah, menumbuhkan cinta yang lebih besar kepada seseorang yang dinikahi, jauh lebih penting daripada sebelum pernikahan.
Sejujurnya, menumbuhkan cinta sebelum pernikahan itu hanya sebatas kesukaan, sedangkan apabila sesudah pernikahan menjadi sebuah kewajiban.
Kini, semua terserah padamu. Bersediakan menikah denganku untuk meluhurkan segala rindu yang singgah di dalam kalbu? Biar tak hanya menjadi pengujar kata-kata mesra, tetapi juga pewujud cinta yang menjelmakan bahagia dengan keindahan nyata. []
Arief Siddiq Razaan, 04 Februari 2016