Oleh: Zahida Ummu Sausan
Pemerhati Anak dan Keluarga
KRISIS keluarga sakinah melanda kehidupan kaum muslimin. Dahulu keluarga adalah tempat terindah dan ternyaman untuk melepas semua hiruk-pikuk kehidupan. Kini keluarga dianggap belenggu dan beban yang menghalangi kebebasan, hingga lebih nyaman di luaran daripada di rumah.
Fenomena ini sungguh membuat miris. Perceraian yang dulu masih tabu untuk diketahui, sekarang begitu menyeruak. Pengaruh kehidupan sekuler, hedonisme dan liberalis telah menggerus nilai-nilai Islam dari kehidupan. Termasuk dalam urusan rumah tangga, akhir-akhir ini banyak kita jumpai masalah disorganisasi keluarga, di antaranya adalah perceraian.
Kasus perceraian sudah sangat mengkhawatirkan. Dirjen Bimas Islam Kemenag, Prof Muhammadiyah Amin mengatakan bahwa pada 2017 lalu angka perceraian juga masih terhitung tinggi, “walaupun datanya belum ada,tapi kalau data tahun 2016 sebesar 350 ribuan”, ujar Muhammadiyah. Berdasarkan data dari Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung pada periode 2014-2016 perceraian di Indonesia trennya memang meningkat. Dari 344.237 perceraian pada 2014 naik menjadi 365.633 perceraian di tahun 2016. Rata-rata angka perceraian naik 3% per tahunnya.
Jika dicermati akan didapati beberapa sebab pemicu perceraian diantaranya:
1) Tujuan mendasar membentuk keluarga belum difahami.
Sebagian pasangan hanya menikah dengan bermodal cinta, tidak disertai dengan bekal ilmu yang cukup untuk menjalani kehidupan pernikahan. Akibatnya ketika dilanda sedikit goncangan yang terpikir adalah mengambil jalan pintas; cerai.
Padahal sebagai sebuah ibadah pernikahan memiliki tujuan mulia. Memahami tujuan itu sangatlah penting guna menghindarkan pernikahan berlayar tak tentu arah yang akan membuatnya sia-sia tak bermakna. Tujuan itu adalah mewujudkan mawaddah dan rahmah,yakni terjadinya cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati/sakinah (QS ar-Rum;21), melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa, mempererat silaturahmi, sebagai sarana da’wah dan menggapai mardhotillah.
Jika tujuan pernikahan yang sebenarnya difahami dengan, InsyaaAllah akan lebih mudah meraih keluarga sakinah. Konflik-konflik yang berkepanjangan akan terhindari. Ketika pasangan suami-istri satu pemahaman dalam memandang tujuan pernikahan sesungguhnya hal ini akan menjadi perekat kokoh sebuah pernikahan.
2) Ketimpangan dalam persoalan hak dan kewajiban
Islam memandang pernikahan sebagai perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidza, QS an-Nisa;21) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajibannya.
Islam mengatur dengan sangat jelas hak dan kewajiban suami-istri, orangtua dan anak-anak serta hubungan dengan keluarga yang lain. Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukannya masing-masing.
Rasullah bersabda: ”Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dipercayakan kepadanya…Seorang ayah bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya. Seorang ibu bertanggungjawab atas rumah dan anak suaminya serta akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.” (HR al –Bukhori dan Muslim).
Pernikahan dalam Islam bukan hanya berdimensi duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dengan kata lain pernikahan haruslah dipandang sebagai bagian dari amal salih untuk menciptakan pahala sebanyak-banyaknya, dalam kedudukan masing-masing melalui pelaksanaan hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya.
3) Fungsi keluarga terabaikan
Islam mengajarkan prinsif keadilan dalam membina keluarga. Dalam hal ini, adil berati meletakan fungsi-fungsi keluarga secara memadai. Islam meletakan fungsi keagamaan(ibadah dan amal sholih) sebagai fungsi paling penting dalam keluarga.
Bersumber dari fungsi keagamaan inilah keluarga menghidupkan fungsi reproduksi, edukasi, perlindungan dan kasih sayang. Fungsi ekonomi, sosial rekreatif akan tumbuh sendiri jika fungsi-fungsi yang disebut sebelumnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
BERSAMBUNG ke halaman selanjutnya…
4) Kebahagiaan yang tidak dirasakan
Keluarga sakinah adalah keluarga dengan enam kebahagiaan yang lahir dari usaha keras pasanagan suami istri dalam memenuhi semua hak dan kewajiban, baik kewajiban perorangan maupun kewajiban bersama. Amat jelas bagaimana Allah dan Rasul-Nya menuntun kita mencapai setiap kebahagian itu.
Enam kebahagian yang dimaksud adalah kebahagiaan finansial, seksual, intelektual, moral, spiritual dan ideologis. Mana dari enam kebahagiaan itu yang utama? semuanya tergantung persepsi atau kerangka pandang dan pemahaman pasangan suami-istri.
Keluarga Rasulullah dibangun dalam kerangka perjuangan. Inilah keluarga teladan dengan kebahagiaan ideologis. Namun berdasarkan riwayat -riwayat yang sangat jelas Rasulullah mampu menciptakan bagi keluargannya kebahagiaan intelektual,moral, spiritual,bahkan pula seksual.
Sangatlah penting bagi para pasangan untuk menyiapkan pernikahannya dengan baik sehingga dapat mengantisipasi badai yang akan menerpa dan pada saat hal tersebut terjadi dapat diatasi dengan baik.
Kesabaran merupakan langkah utama ketika mulai muncul perselisihkan dalam keluarga. Islam memerintahkan kepada suami-istri agar bergaul dengan cara yang baik serta mendorong mereka untuk bersabar dengan keadaan masing-masing pasangan. Sebab boleh jadi di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan.
Dalam Al Qur’an Allah berfirman yang artinya: “Bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu,padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS an-Nisa: 19).
Selanjutnya sangat penting menjaga pintu dialog. Dialog dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan psikis. Kadang masalah muncul bukan karena tidak ada kecocokan pada kedua belah pihak, melainkan karena sangat kurangnya kesempatan bagi keduanya untuk berbincang-bincang. Boleh jadi hanya dengan dialog persoalan yang kelihatannya sulit akan mampu terpecahkan. Disinilah dibutuhkan komunikasi yang baik antar suami-istri.
Untuk membangun komunikasi yang baik, pasangan harus menyadari bahwa mereka merupakan dua pribadi yang unik dan berbeda. Pasangan tidak akan pernah bisa membangun sebuah kesamaan tanpa menyadari atau mengenali perbedaan yang ada. Mereka mungkin menyadari bahwa mereka berbeda,namun tidak tahu bagaimana cara menjembatani perbedaan yang ada dengan bijaksana sehingga konflik pun tak bisa dihindarkan lagi.
Jika konflik suami-istri memang sudah tidak mampu diatasi berdua, sementara keadaan semakin runcing maka kehadiran pihak ketiga sebagai penengah sangat diperlukan.
“Jika kalian khawatir ada persengketaan diantara keduanya,maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi Taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (QS an-Nisa: 35).
Jika memang perceraian merupakan pilihan satu-satunya maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Diantaranya kehormatan masing-masing tetap harus terjaga. Hak-hak anak setelah orangtua berpisah tetap harus terpenuhi. Yang sering membawa kerusakan hubungan silaturahmi antara keluarga mantan suami atau istri bukanlah perceraian itu, tetapi sikap saling menyalahkan. Bahkan kadang keluar perkataan yang merusak kehormatan mantan suami atau istri.
Sesungguhnya setelah perceraian terjadi, masing-masing sudah tidak ada ikatan apa-apa lagi. Jadi mengapa juga mesti mengurusi orang yang sudah bukan suami atau istrinya lagi?
Perceraian sering berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk didalamnya anak-anak. Hak anak dalam persoalan nafkah dan kasih sayang tetap harus terpenuhi walau kedua orangtuanya telah bercerai. Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian daripada anak-anak mereka. Hal ini terjadi karena biasanya perceraian sudah didahului dengan proses berfikir dan pertimbangan yang panjang sehingga ada persiapan mental dan fisik. Tidak demikian dengan anak-anak. Mereka tiba-tiba harus menerima keputusan tanpa sebelumnya memiliki ide dan bayangan bahwa hidup mereka akan berubah.
Begitu perceraian terjadi segeralah anak diberitahu bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya. Misal tentang tidak akan tinggal lagi bersama tetapi hanya dengan salah satu orangtua. Usahakan tetap menjadi tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang. Yakinkan anak bahwa sekalipun orangtuanya berpisah mereka akan tetap mencintai anak. Jalin hubungan dengan anak melalui telepon atau saling berkunjung,karena sesungguhnya tidak yang namanya bekas anak atau bekas orangtua.
Sesungguhnya pernikahan diselenggarakan dalam rangka membentuk keluarga sakinah yang akan memberikan ketenangan pada semua anggotanya. Jika dalam kehidupan pernikahan muncul persoalan yang dapat mengganggu keluarga hingga batas yang tidak mungkin dipertahankan keutuhannya maka harus ada jalan keluar bagi kedua belah pihak untuk berpisah.
Namun patut direnungkan bahwa perceraian, meskipun halal (dengan sebab tertentu), merupakan hal yang sangat dibenci Allah. Perceraian adalah salah satu misi terbesar iblis. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim, dikisahkan bahwa berbagai macam upaya pasukannya menggoda manusia ditanggapi dingin oleh Iblis. Namun, ketika ada pasukannya yang melaporkan bahwa ia telah berhasil membuat suami istri bercerai, Iblis pun mendekati pasukannya itu dan memujinya.
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ – قَالَ – فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian dia mengirimkan pasukannya. Maka yang paling dekat kepadanya ialah yang paling besar fitnahnya. Lalu datanglah salah seorang pasukannya melapor, “aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “kamu belum berbuat apa-apa.” Lalu datanglah pasukan lain melapor, “aku tidak membiarkannya hingga aku menceraikan dia dan istrinya”. Iblis pun mendekat kepada pasukan itu dan memujinya, “bagus”. (HR. Muslim)
Hendaklah hadits ini menjadi bahan renungan kita semua untuk menguatkan keluarga kita. Bahwa Iblis dan pasukannya memang tidak tinggal diam saat keluarga kita harmonis, saat keluarga kita bahagia, saat keluarga kita menggapai sakinah, mawaddah wa rahmah. Dengan segala cara, Iblis dan pasukannya berupaya agar keluarga kita yang harmonis menjadi kacau.
Dengan berbagai metode, Iblis dan pasukannya berupaya agar keluarga kita yang tentram dan bahagia menjadi berselisih dan saling menderita. Dengan beragam tipudaya, Iblis dan pasukannya berupaya agar keluarga kita pecah dan porak poranda.
Jika prahara-prahara begitu keras menghantam bahtera rumah tangga,pasangan telah berupaya memperbaiki namun tak kunjung ada secercah harapan. Maka dalam kondisi seperti ini, masing-masing pihak tidak harus memaksakan diri untuk mempertahankan ikatan pernikahan yang sudah diliputi dengan perselisihkan terus menerus atau bahkan mungkin juga kebencian. Sebagaimana Allah telah mensyaratkan pernikahan, Allah juga mensyariatkan adanya perceraian (talak). Perceraian sebagai solusi boleh dilakukan tetapi dengan cara yang ma’ruf dan benar agar tidak memunculkan masalah baru. Wallahu’alam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.