Oleh: dr. Ifa Mufida*
REMAJA adalah aset penerus bangsa. Di pundak merekalah, keberlanjutan estafet amanah negeri ditambatkan. Namun, kondisi remaja saat ini ternyata banyak sekali menuai problematika. Di era milenial ini, remaja sering dikabarkan dalam kondisi yang terpuruk, mulai maraknya geng remaja, tawuran di kalangan remaja, terjebak dalam pergaulan liberal, seks bebas, married by accident, mabuk miras dan NAPZA, dan masih banyak segudang permasalahan yang seolah tak ada habisnya.
Akhir-akhir ini sedang marak pernikahan dini pada remaja. Ditemukan sebanyak 418 kasus perkawinan anak sepanjang tahun 2016-2017. Setelah diteliti lebih jauh, dari 117 kasus sebanyak 50 perkawinan anak dengan selisih usia lebih dari 5 tahun antara mempelai laki-laki dan perempuan. Dan dari jumlah itu sebanyak 48 perkawinan terjadi karena ketakutan akan zina (RMOL.co).
Hal ini pun menuai pro dan kontra. Menurut koordonator Reformasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional KPI Indry Oktaviani di Jakarta pada minggu (2/12), Hal ini terjadi karena pengaruh agama, sehingga orang tua khawatir anaknya zina maka dinikahkan meski di bawah umur. Dia juga menuntut pertanggungjawaban dari tokoh lintas agama berkenaan dengan kasus ini. “Kami meminta tanggung jawab tokoh-tokoh lintas agama untuk berperan dan melakukan kajian dengan pemerintah mengenai perkawinan anak dari perspektif agama,” demikian tuntutan Indry. Karena menurutnya pernikahan pada anak atau pernikahan dini ini berbahaya bagi anak-anak. Selain itu, KPI juga mendorong adanya kebijakan tingkat nasional dan menguatkan pemahaman Kementerian Agama mengenai bahaya perkawinan anak.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dan Kementerian Agama berencana menaikkan batas usia nikah. Hal itu dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (cnnindonesia.com). Pada perumusan RUU Perkawinan, pemerintah mengusulkan batas usia menikah bagi laki-laki adalah 21 tahun dan perempuan 18 tahun. Menurut pemerintah, penetapan batas usia ini untuk menjarangkan usia kehamilan dini, menjaga kesehatan anak yang dilahirkan dan menyukseskan program Keluarga Berencana.
Pada faktanya, kasus pernikahan yang marak dibawah usia yang ditetapkan oleh pemerintah, bermula dari kekhawatiran orang tua ketika anaknya terlibat perbuatan seks bebas, yang menyebabkan hamil di luar nikah sekaligus serentetan permasalahan selanjutnya yakni aborsi dan kematian janin. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu. Dari kasus tersebut, 63 persen disebabkan oleh remaja yang berhubungan seks di luar nikah. Selain kehamilan yang tidak diinginkan, yang perlu mendapat penanganan secara serius adalah naiknya penderita HIV/AIDS dimana lebih dari 50 persen mengenai usia 19-25 tahun. Dari sini terlihat bahwa seks bebas pada remaja di luar nikah sangat mengkhawatirtkan.
Maka bukan hal yang aneh, jika banyak orang tua yang memilih untuk menikahkan anaknya pada usia yang masih muda bahkan di bawah usia yang ditetapkan oleh pemerintah. Alasan yang mereka ajukan pun sangat bisa diterima yakni untuk menghindarkan anak-anak mereka dari perbuatan zina atau dengan bahasa milenial dari seks bebas di luar nikah. Hal ini pun memang jelas diperintahan dalam Islam untuk melindungi anak-anak keturunan kita dari perbuatan dosa, sebagaimana firman Allah SWT.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan [at-Tahrîm/66:6]”.
Inilah penjagaan keluarga terhadap anak-anak mereka. Pun juga tidak ada yang dikhawatirkan dalam pernikahan. Karena pernikahan ini akan menghindarkan dari perbuatan zina, sekaligus seks bebas yang cukup mengkhawatirkan di kalangan remaja.
Dari segi medis pun, usia remaja ketika sudah mengalami haid, maka sebenarnysa secara biologis remaja tersebut sudah siap untuk menerima konsekuensi berkembangnya hormon dalam tubuhnya seperti peran untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Secara fakta, perilaku seks bebas justru yang lebih memberikan efek yang membahayakan bagi remaja. Dikarenakan seks bebas menyebabkan serangkaian permasalahan bagi remaja, mulai hamil di luar nikah yang akhirnya menyebabkan meningkatnya aborsi, dengan resiko kematian janin dan resiko kesehatan yang mengancam bagi remaja bahkan kematian.
Akan tetapi dengan menikah, maka remaja akan mendapatkan keturunan yang sah dan halal. Hal ini pun akan diterima oleh keluarga dan masyarakat secara bahagia dan sebagai keberkahan. Secara psikologis, remaja juga tetap bisa menjalankan berbagai perannya di masayarakat. Berbeda dengan kasus remaja yang married by accident, secara psikologis banyak hal yang menjadi beban dan sekaligus terus menyeret remaja pada pergaulan yang rusak.
Dalam Islam, pernikahan muda juga justru mengandung hal-hal positif ketika dijalankan sesuai ketentuan. Banyak orang yang faham memahami bahwa nikah muda sebagai solusi dalam menghadapi perkembangan zaman yang sudah tidak terkendali. Pernikahan ini juga untuk menjaga diri dan menunaikan sunnah Nabi.
Rosulullah Saw bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian sudah mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa lebih bisa menahan syahwatnya (menjadi tameng).(H.R. Bukhori)”. Maka Islam justru menjadikan menikah adalah solusi untuk menghindarkan dari dosa zina. Dari sini jelas, dari sisi medis dan islam pun tidak ada yang perlu dikhawatirkan berkenaan dengan menikah di usia muda.
Maka tak sepatutnya pemerintah ataupun KPAI memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadap fenomena maraknya orang tua yang menikahkan anaknya di usia remaja. Justru seharusnya mereka memikirkan bagaimana mencegah dan mencari solusi terhadap permasalahan remaja yang justru menikah karena sudah hamil dahulu sekaligus rentetan permasalahan yang ditimbulkan. Pergaulan yang liberal dan seks bebas sudah menjadi kehidupan kebanyakan remaja saat ini. Kenapa tidak hal ini yang seharusnya dikhawatirkan?
Dengan demikian, sudah sepatutnyalah koalisi Pemerintah ataupun KPAI justru mengkhawatirkan maraknya pornografi dan pornoaksi yang menjadi pintu pembuka syahwat di kalangan remaja. Dan jika memang benar-benar pemerintah peduli dengan anak Indonesia, seharusnya mereka menolak liberalisme dan sekulerisme sebagai pendorong adanya pergaulan bebas di kalangan remaja. Dan sudah saatnyalah Mereka mengambil aturan yang berasal dari Allah SWT. Karena dengan syariat Islan saja yang akan menjaga dan membina ketakwaan umat sebagai benteng dari segala kemaksiatan. Allahu A’lam bi Showab.
*dr. Ifa Mufida, adalah Praktisi Kesehatan yang bekerja di salah satu kampus di Kota Malang. Aktif mengamati permasalahan Kesehatan di masyarakat terutama yang berhubungan dengan Remaja dan Pergaulan Bebas. Penulis juga aktif menulis opini di berbagai media online.
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.