PIAGAM Madinah merupakan konstitusi progresif-revolusioner yang mengatur relasi sosial, kepemilikan, dan komitmen persatuan untuk membela Madinah dari segala agresi dunia luar yang mengganggu stabilitas Madinah dan merongrong warganya.
Isi piagam Madinah cukup panjang, seperti ditulis oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad. Beberapa poin penting piagam tersebut penulis kutip dari buku Fiqh Sirah karya Al-Buthi.
Isi dari piagam Madinah ini terdiri dari 14 butir yang isinya di antaranya:
Pertama, kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib (Madinah), juga siapa pun yang mengikuti dan berjihad bersama mereka, adalah satu umat.
BACA JUGA:Â Mekkah dan Madinah Terlindung dari Dajjal di Akhir Zaman
Kedua, semua muslim, meskipun berbeda suku, sama-sama harus membayar ‘aql (sejumlah uang tebusan yang harus dibayarkan karena yang bersangkutan melakukan pembunuhan atau melukai orang lain) dan menebus para tawanan mereka dengan cara yang makruf dan adil di antara kalangan orang-orang mukmin.
Ketiga, sesungguhnya orang-orang mukmin tidak meninggalkan (mengabaikan) seseorang yang menanggung utang di antara mereka untuk memberinya uang tebusan atau aql.
Keempat, sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus melawan orang-orang yang melampaui batas atau melakukan kejahatan besar berupa kezaliman, dosa, permusuhan, atau kerusakan di antara kaum Mukminin sendiri, walaupun ia adalah anak salah seorang di antara mereka.
Kelima, seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin yang lain demi membela orang kafir. Seorang mukmin juga tidak boleh membantu orang kafir untuk menyerang sesama mukmin.
Keenam, sesungguhnya kata damai bagi kaum Mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh berdamai tanpa orang mukmin yang lain, dalam berperang di jalan Allah, kecuali jika dilakukan atas kesetaraan dan keadilan antara mereka.
BACA JUGA: Mus’ab bin Umair, yang Membuka Jalan Nabi di Madinah
Ketujuh, dzimmah Allah adalah satu. Dia melindungi mukmin yang lemah. Orang mukmin adalah wali bagi mukmin yang lainnya di hadapan seluruh umat manusia.
Kedelapan, seorang mukmin yang telah mengikrarkan piagam ini, juga beriman kepada Allah dan hari Akhir, tidak dihalalkan membantu atau melindungi seorang pendosa. Siapa saja yang membantu atau melindungi seorang pendosa, pada hari kiamat ia dilaknat dan dimurkai Allah. Tidak ada tebusan yang dapat membebaskannya dari laknat dan murka-Nya.
Kesembilan, orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama orang-orang mukmin selama mereka masih dalam kondisi perang.
Kesepuluh, orang-orang Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanya menghancurkan diri dan keluarganya sendiri.
Kesebelas, orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri, dan kaum Muslimin pun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri. Di antara mereka harus ada tolong-menolong dalam menghadapi siapa pun yang hendak menyerang pihak yang mengadakan perjanjian ini.
Kedua belas, jika di antara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, perkara itu dikembalikan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah.
BACA JUGA:Â Tujuh Pintu Madinah
Ketiga belas, siapa pun yang tinggal di dalam kota Madinah ini, keselamatannya tetap terjamin, kecuali yang berbuat kezaliman dan melakukan kejahatan.
Keempat belas, sesungguhnya Allah melindungi apa yang tercantum di dalam Piagam ini. Sesungguhnya Allah melindungi siapa pun yang berbuat kebaikan dan bertakwa.
Piagam Madinah menandai babak baru perjuangan Rasulullah di Madinah. Beliau kini benar-benar telah menjadi bagian dari Madinah, menjadi warga Madinah yang selalu siap sedia membela Madinah apabila diserang oleh pihak luar.
Melalui piagam ini Rasulullah telah meneguhkan sebuah pola pengaturan yang bersifat ke dalam dan ke luar, alias politik ke dalam dan politik ke luar. Ke dalam melakukan konsolidasi massal, menyatukan misi dan visi, dan menjamin terciptanya stabilitas dalam negeri dengan tegaknya hukum serta terbentuknya alur penyelesaian suatu hukum yang menempatkan Rasulullah sebagai pemutus segala persoalan hukum yang timbul. Dengan kata lain, mereka menjadikan Rasulullah sebagai pengambil keputusan tertinggi.
Wallahu ‘alam bisshawab. []
Sumber: Percikan-Percikan Hikmah Sejarah Nabi/ Penulis: Fajar Kurnianto/ Penerbit: Quanta/ 2013