Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya seorang muslimah yang insya Allah masih aktif dalam dakwah. Ada pertanyaan yang ingin saya sampaikan soal tampilnya seorang dai wanita di pentas publik.
Saya ingin mengadakan acara diskusi tentang anak. Pesertanya ada ibu-ibu, ada juga bapak-bapak. Yang jadi masalah, pakar tentang anak selalu wanita. Pertanyaan saya, boleh dan bisakah seorang wanita menjadi pembicara di kumpulan peserta yang laki-laki? Apa dalil boleh atau dilarangnya wanita jadi pembicara publik? Bagaimana sebaiknya?
BACA JUGA: Dakwah dan ‘Jebakan’ Kesibukan Dunia
Atas perhatian dan jawabannya saya ucapkan jazakumullah khairan.
Sofi
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sebagaimana kita ketahui, dakwah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan meskipun hanya satu ayat yang bisa disampaikannya dalam arti meskipun pengetahuannya tentang Islam sangat minim. Tentu saja bila mau berdakwah jangan satu ayat terus yang disampaikan.
Penyampaian pesan-pesan dakwah bisa dilakukan oleh laki-laki kepada wanita dan bisa pula dari wanita kepada laki-laki, hal ini karena kedudukan laki-laki dan wanita di dalam Islam sebenarnya sama, begitulah para mufassir menyimpulkan adanya isyarat bahwa ketika Al-Qur’an menyebutkan laki-laki dan wanita berarti adanya kesamaan dalam kedudukan diantara keduanya.
Salah satu ayat yang menyebutkan kewajiban dakwah pada laki-laki dan wanita yang membuatnya akan mendapat rahmat Allah Swt disebutkan dalam firman Allah Swt yang artinya: Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS 9:71).
Karena dakwah dalam arti yang luas menjadi kewajiban laki-laki dan wanita muslim, maka isteri-isteri Nabi dan wanita mukminah pada masa itu juga menyampaikan pesan-pesan dakwah. Tidak sedikit para sahabat yang datang kepada isteri Nabi, khususnya kepada Aisyah untuk mendapatkan pengajaran atau informasi tentang kehidupan Rasulullah Saw atau apa yang didapat oleh Aisyah dari Rasulullah. Mereka bertemu dan bertanya langsung kepada Aisyah ra.
Dari sini kita bisa simpulkan bahwa wanita boleh saja menyampaikan nilai-nilai kebenaran kepada laki-laki dengan adab yang sesuai dengan nilai-nilai Islam itu sendiri seperti menutup aurat dan menyampaikan pesan dengan suara yang tegas.
Adapun tidak dibolehkannya wanita untuk menyampaikan khutbah Jum’at atau khutbah Idul Fitri dan Idul Adha kepada jamaah laki-laki bukan karena soal dakwahnya tidak boleh, tapi menjadi khatib di hadapan jamaah laki-laki bukanlah tugas wanita sehingga hal itu tidak boleh dikerjakan oleh wanita.
BACA JUGA: Saudaraku, Janganlah Kalian Tinggalkan Dakwah
Karena itu, bila wanita memiliki ilmu, dia berkewajiban untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya itu kepada siapapun, termasuk kepada laki-laki, baik dalam bentuk memberikan ceramah, mengajar, dialog melalui radio dan televisi atau menulis dan cara-cara lain yang kesemuanya itu dilakukan dengan baik.
Hal lain yang perlu pengasuh kemukakan adalah adanya anggapan bahwa suara wanita itu aurat yang oleh para ahli hadits sendiri dinyatakan didasarkan pada hadits yang tidak shahih. Bila suara wanita aurat, tentu tidak bisa ia bicara kepada laki-laki, padahal seperti dijelaskan di atas, isteri-isteri Nabi sering didatangi oleh para sahabat untuk meminta keterangan tentang berbagai masalah yang perlu mereka ketahui.
Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa para wanita Islam diperbolehkan untuk menyampaikan pesan dakwah kepada laki-laki, termasuk berpidato di hadapan mereka, apalagi bila ilmu yang dimilikinya amat dibutuhkan oleh semua pihak. Meskipun demikian, akan lebih baik bila para da’iyah lebih berkonsentrasi untuk dakwah di kalangan wanita karena sebenarnya jumlah da’iyah atau muballighah untuk jamaah wanita sangat kurang, apalagi untuk memenuhi kebutuhan muballigah yang memiliki kepribadian yang shalihah, wawasan yang luas dan kemampuan dakwah yang baik dan menarik. Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat bagi kita semua. []
Disarikan dari materi Ust. Ahmad Yani/Majalah Saksi