Oleh: dr. Ifa Mufida
Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Umat
PERGANTIAN tahun baru, sampai detik ini nampaknya tidak bisa dipisahkan dari gaya hidup yang liberal dan hedonis. Remaja, adalah kalangan yang sering dikabarkan banyak menimbulkan “masalah” di peringatan tahun baru ini.
Sebagai contoh, pada perayaan tahun baru 2018 kemarin, puluhan remaja Tasikmalaya terjaring razia saat merayakan malam pergantian tahun dengan berpesta minuman keras (miras) (republika.co.id).
BACA JUGA: Tegas, Bupati Sarolangun Larang Hiburan di Malam Tahun Baru 2019
Hal senada juga terjadi pada belasan pemuda di Desa Ender, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon. Mereka menggelar pesta miras oplosan pada 31 desember 2017 sehingga petugas keamanan yang mengetahui hal itu pun langsung menggerebek mereka (republika.co.id).
Selain pesta miras, malam tahun baru ternyata adalah momen yang sering dihabiskan oleh remaja untuk pesta seks bebas. Sebagaimana pernyataan Ketua Womens Crisis Center (WCC) Palembang, Yeni Roslaini Izi mengatakan, malam pergantian tahun dan hari valentine kerap digunakan pasangan remaja untuk melakukan hubungan seks bebas (jambi.tribunnews.com).
Di malam tahun baru itu, ada pria yang merayu dengan meminta pembuktian cinta dan sayang dari sang kekasih. Biasanya, remaja yang larut dalam kemeriahan malam tahun baru dan hari valentine mau saja menuruti ajakan itu. Parahnya, Hal ini Seolah sudah menjadi rahasia umum.
Perayaan tahun baru oleh remaja akan berefek secara jasmani dan rohani. Secara jasmani, banyak dari segi medis yang bisa mengancam remaja kita. Miras sungguh merusak otak, dan minum miras bisa menyebabkan serangkaian perilaku yang lain, misal perkelahian, tawuran, perkosaan, hingga pembunuhan.
Belum lagi untuk miras oplosan ada risiko kematian bagi peneguknya. Perilaku seks bebas ini juga menimbulkan serentetan permasalahan mulai hamil di luar nikah, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, aborsi, married by accident, dan masih banyak lagi.
Secara rohani, remaja muslim akhirnya terjebak dengan perayaan yang bukan berasal dari Islam. Secara pasti hal ini akibat kurang fahamnya remaja sekaligus juga berefek terhadap semakin jauhnya remaja dari Islam.
Permasalahan terjebaknya remaja terhadap euforia perayaan tahun baru nampaknya belum ada upaya konkret untuk mencegahnya. Upaya pencegahan ini pastinya mengandalkan keluarga sebagai benteng pertahanan pertama.
Namun, terkadang orang tua begitu mudahnya memberikan izin bagi anak remajanya untuk keluar bersama-sama teman-temanya. Berbagai macam alasan disampaikan oleh orang tua yang mengizinkan anaknya antara lain karena khawatir anaknya dikucilkan oleh teman sebaya, atau bisa jadi karena minimnya pemahaman orang tua tentang makna tahun baru dalam Islam.
Dengan memahami sejarah munculnya perayaan tahun baru kita bisa memastikan bahwa tahun baru Masehi sejatinya termasuk bagian perayaan orang non-Muslim dan masih satu rangkaian dengan kegiatan mereka selama Natal. Perayaan tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi.
Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Menurut kepercayaan bangsa Romawi Kuno, Janus adalah dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” in Mélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400).
Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum Muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yakni masyarakat paganis Romawi. Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir.
Dan ini hukumnya terlarang. Hal ini dikarenakan perilaku tersebut sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar dan buruk, termasuk perbuatan orang-orang kafir. Beliau SAW bersabda: “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut,” (Hadits shahih riwayat Abu Daud).
Selain itu, mengikuti hari raya kaum kafir termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah SWT melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih dan menampakkan cinta kasih kepada mereka.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,” (QS Al-Mumtahanah: 1).
Merayakan Hari Raya merupakan bagian dari keyakinan dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan.
Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah: “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha,” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang Majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari raya tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Demikianlah, beberapa dalil keharaman perayaan yang bukan berasal dari Islam, termasuk perayaan tahun baru masehi. Secara aqidah dan hukum Islam jelas keharaman nya.
Maka kaum muslimin harus berlomba-lomba saling mengingatkan agar kita tidak terjebak dari perbuatan yang sia-sia dan dosa ini. Bentuk saling mengingatkan ini, adalah bentuk kontrol masyarakat terhadap kaum muslimin yang lain.
BACA JUGA: Bagaimana Hukumnya Saling Mendoakan dan Ucapkan Selamat Tahun Baru Masehi?
Harapannya, setiap keluarga muslim bisa memiliki persepsi dan pemahaman yang sama. Dengan demikian, keluarga muslim tidak akan mudah merelakan anak-anak remaja mereka keluar rumah untuk merayakan seremonial pergantian tahun ini.
Indonesia sebagai Negara dengan penduduk muslim terbanyak harusnya juga memiliki pemikiran dan perasaan Islam. Karena kebijakan dari pemerintah akan sangat menentukan bagaimana life style masyarakat yang mereka pimpin.
Ketika pemimpin mengintruksikan agar tidak ada perayaan tahun baru, maka ini bisa menjadi bentuk perlindungan hakiki bagi masyarakat, terlebih remaja muslim.
Salut ketika ada pemda yang mengintruksikan gerakan tidak keluar rumah di tahun baru, atau mengadakan refleksi dan muhasabah saja, atau himbauan tidak ada kegiatan awal tahun baru kecuali dengan dzikir. Upaya ini patut kita apresiasi, meski sangat berharap akan menjadi himbauan nasional. Remaja muslim pun bisa diselamatkan dari bahaya euforia perayaan tahun baru, Insya Allah. Allahu A’lam bi showab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.