TIDAK seorang Muslim pun yang meragukan keimanan, perjuangan, pengorbanan, dakwah dan jihad Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau termasuk pada sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Akan tetapi keutamaan sahabat Nabi yang berhati lembut namun tegas ini tidak terletak hanya pada kesalehan individulanya. Ia justru mampu mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk kepentingan dakwah dan jihad.
Lakon yang diperankannya pada peristiwa hijrah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ke Madinah adalah salah satu bukti penting dari apa yang saya sebutkan di atas. Beliau adalah orang yang dipercaya dan dipilih Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sebagai teman dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Perjalanan yang akan ia lalui bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bukanlah perjalanan biasa melainkan perjalanan berisiko maut. Ini karena kaum Quraisy mencari dan mengejar mereka. Bahkan mereka telah menyediakan hadiah besar bagi yang dapat menangkap Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, hidup atau mati. Berbagai hal yang membahayakan dirinya dilakukan demi menyelamatkan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
BACA JUGA: Doa Rasulullah ketika Abu Bakar Digigit Ular
Sekali lagi, bukan sekedar kesalehan individual –dalam bentuk misalnya keberanian menantang bahaya dalam rangka menjaga Rasulullah tercinta- yang menjadi kehebatan beliau. Lebih dari itu, ia telah melibatkan keluarganya dalam bahaya untuk mensukseskan misi hijrah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ke Madinah itu. Dan lebih hebat lagi, keluarganya itu mendukung dan terlibat penuh dalam misi yang teruhannya nyawa itu.
Di antara strategi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang mengejar beliau setelah mereka tahu bahwa beliau lolos dari kepungan di rumahnya, adalah ‘mampir’ di Gua Tsaur, sebuah tempat yang justru berlawanan arah dengan arah menuju Madinah. Di sinilah peran keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq secara sempurna dijalankan.
Putranya, Abdullah Bin Abi Bakar, bertugas melakukan deteksi tentang perkembangan informasi di kalangan orang-orang kafir Quraisy. Kemudian ia harus menyampaikannya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan ayahnya, yang tengah bersembunyi di Gua Tsaur itu. Informasi tidak boleh terputus bagi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Di samping itu juga mereka memerlukan makanan dan minuman. Maka putrinyalah, Asma binti Abi Bakar, yang diamanahkan untuk itu. Padahal saat itu ia tengah hamil tua. Sampai-sampai ia harus rela membelah tali pengikat perutnya menjadi dua bagian. Satu digunakan untuk menahan perutnya semakin besar. Dan yang satunya lagi dipakai untuk mengikat makanan yang akan dibawanya ke Gua Tsaur.
Bukan itu saja, ternyata nilai-nilai dan semangat dakwah dan jihad itu juga ditularkan Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada pembantu rumah tangganya. ‘Amir Bin Fuhairah namanya. Ia ditugaskan untuk menggembalakan kambing ke sekitar mulut gua. Ini tentu saja bukan tanpa tujuan. Kaki-kaki kambing itu diharapkan menghapus jejak kaki Abdullah dan Asma. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memang tidak salah memilih kawan. Dan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak salah mengarahkan, membina dan mendidik keluarganya. Akhirnya, misi hijrah sukses. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sampai di Madinah dalam keadaan selamat.
BCA JUGA: Enam Anak Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Keistimewaannya
Begitulah, keluarga bagi da’i bisa menjadi orang yang memiliki daya dorong dan motivasi paling kuat; bisa menjadi prajurit paling depan dalam menebarkan misi dakwah; bisa menjadi benteng paling kokoh yang tidak mudah dirobohkan; dan bisa menjadi inspirasi paling berharga untuk membuat langkah-langkah dakwah mencapai sukses.
Maha Benar Allah yang telah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim / 66:6). []
Sumber: Majalah Saksi, Jakarta