Oleh: Desi Maulia, S.K.M
Pengamat Sosial tinggal di Surabaya
desi8maulia@gmail.com
BARU -baru ini MK menyiarkan putusan MK secara tertulis yang memerintahkan DPR untuk merevisi Undang-undang Perkawinan tentang batas perkawinan anak. Dalam menyelesaikan proses revisi ini MK memberi waktu selama tiga tahun (www.antaranews.com).
Keputusan MK ini dikeluarkan setelah sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat sipil menggugat Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikarenakan adanya perbedaan batas minimal usia perkawinan perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. UU tersebut dinilai menimbulkan diskriminasi dan melanggar UU Perlindungan Anak (www.kompas.com).
Upaya merevisi UU Tentang Perkawinan ini adalah dalam rangka untuk mencegah perkawinan anak. Hal ini sebagamana disampaikam oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, “Kami mengapresiasi MK yang memberikan ‘lampu hijau’ untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan agar bisa mencegah perkawinan anak” (www.antaranews.com).
BACA JUGA:Â Simpang Siur Status Pernikahan Dini
Alasan pencegahan perkawinan anak ini dilakukan salah satunya adalah dikarenakan reproduksi anak yang belum siap. Selain itu, menurut Ketua KPAI Susanto pernikahan dini dianggap berpotensi meningkatkan jumlah kematian ibu dan anak (www.antaranews.com).
Putusan MK ini sejalan dengan program kesehatan remaja yang digagas oleh WHO melalui ICPD (International Conference on Population and Development) pada tahun 1994. Indonesia termasuk dari 179 negara yang ikut menandatangani hasil kesepakatan ICPD.
Konferensi ini membahas ruang lingkup kesehatan reproduksi yang dibagi dalam 10 poin salah satunya adalah kesehatan reproduksi remaja. Dalam konferensi ini menyepakati perubahan paradigma dalam mengelola permasalahan kependudukan dan pembangunan. Yaitu bagaimana upaya dalam pengendalian pertumbuhan penduduk.
Berbagai upaya ditempuh pemerintah Indonesia untuk bisa merealisasikan hasil ICPD ini termasuk di dalamnya berupaya untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. Hal ini dikarenakan pernikahan dini akan memperpanjang usia reproduksi dan memperbesar peluang semakin banyaknya jumlah anak.
Di sisi lain merespon putusan MK ini, Wakil Ketua MUI Zainul Tauhid Saadi menuturkan bahwa MUI akan melakukan pengkajian secara mendalam. Sebab putusan tersebut berpotensi menimbulkan polemik karena terkait dengan isu yang sensitif. Zainut juga mengatakan bahwa UU I/1974 ini bagi umat Islam bukan sekadar norma hukum positif dalam pernikahan. Tapi juga mengatur sah tidaknya sebuah pernikahan menurut ajaran Islam (www.jawapos.com).
Adalah fitrah bagi manusia memiliki naluri melangsungkan jenis. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjadikannya satu paket dalam penciptaan manusia disamping kebutuhan dan naluri yang lain. Namun dalam penciptaannya ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan aturan dalam pemenuhannya. Menikah adalah salah satu tuntunan Allah dalam memenuhi naluri ini.
BACA JUGA:Â Â Pernikahan Dini yang Terlarang
Aturan tentang pernikahan ini telah dijelaskan dalam syariat Islam. Dalam aturan tersebut terdapat syarat-syarat sahnya pernikahan. Pertama, mempelai wanita haruslah orang yang halal dinikah. Kedua, ada wali yang menikahkan.
Ketiga, dihadiri dua orang saksi laki-laki, muslim, baligh, berIslam, mendengar dan memahami ucapan ijab-qabul. Dalam syarat sahnya pernikahan tersebut tidak sedikitpun memberi batasan usia bagi yang hendak menikah. Maka upaya pemberian batasan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah bertentangan dengan Islam.
Selain itu dalam Islam, pernikahan adalah sebuah ibadah yang salah satu tujuannya untuk memperoleh keturunan. Bahkan dalam sebuah hadist Rasulullah SAW mendorong kaum muslimin untuk mempunyai keturunan yang banyak.
Rasulullah SAW bersabda, ” Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” (HR Abu Dawud, Nasa’i, Ibn Hibban, dan Hakim). []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.