SEBELUM dipungut dan ditahbiskan sebagai anak angkat Abu Hudzaifah, lelaki itu benar-benar dianggap sampah yang tak ada nilainya. Seorang budak belian yang semau tuannya bisa diperlakukan bak binatang. Persis nasibnya seperti ratusan, bahkan ribuan budak-budak yang lain.
Saat cahaya Islam datang dan diusung langsung oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, Salim, lelaki berkulit hitam legam itu, memenuhi seruannya. Panggilan jiwanya tidaklah terwujud manakala azzam yang kuat menyertainya. Tidak seperti perangai budak-budak lainnya, kecuali Bilal dan Yasir, kemauan yang kuat selalu muncul dari kalbunya yang dalam. Dari sinilah cahaya ilahi akhirnya bersemayam di jiwanya.
Beruntung Salim hidup di era kenabian dimana Rasulullah mengajarkan Islam secara kaffah, baik teori maupun praktik, pada para shahabatnya. Begitu ajaran tentang persaudaraan dan kekerabatan Islam disampaikan, mereka mempraktikannya dalam perilaku hidup sehari-hari.
BACA JUGA:Â Cinta Sahabat kepada Rasulullah
Di saat menyaksikan Salim yang dengan penuh semangat menangkap pesan-pesan Rasulullah SAW, namun hidup di tengah keluarga musyrik Qureisy, Abu Hudzaifah pun segera membebaskannya. Lantas, mengangkatnya sebagai anak, persis tak lama berselang setelah Rasulullah mengajarkan tentang anak angkat dan statusnya dalam Islam.
Salim yang tak dikenali asal-usul keluarganya tersebut kemudian disapa sebagai maula Abu Hudzaifah (hamba yang dimerdekakan). Kehidupan Salim pun tidak lagi terikat dan terkekang oleh tuannya yang musyrik. Ia berada di baris depan bersama generasi mujahid pertama Islam.
Di kalangan komunitas Islam yang telah dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW itu, Salim termasuk seorang hamba yang cukup disegani dan dihormati. Ini karena dalam dirinya tersimpan ketakwaan dan keikhlasan hidup di bawah bimbingan Rasulullah. Sampai-sampai, sebagai hadiah atas pengabdian hidupnya itu, Abu Hudzifah mengawinkan Salim dengan kemenakannya, Fatimah binta Walid bin ‘Utbah.
BACA JUGA:Â Selain Berdakwah, Para Sahabat Juga Mencari Nafkah
Penghormatan terhadap ketakwaan Salim juga nampak dalam setiap shalat bagi orang-orang yang hijrah–dari Mekkah ke Madinah–di masjid pertama Quba’. Dialah yang dipersilakan memimpin shalat-shalat tersebut. Dia pula yang menjadi rujukan tentang Al-Quran manakala Rasulullah tak di tempat, karena diilhami oleh perkataan beliau pada Salim, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam golonganku seseorang seperti kamu.”
Salim merupakan tipe shahabat yang senantiasa menginginkan perubahan untuk kehidupan yang lebih baik di bawah naungan Islam. Perubahan bagi diri dan keluarganya, serta masyarakat luas. Semangatnya ini tercermin dalam perilakunya yang tidak mau berdiam diri terhadap kesewenang-wenangan. Mulutnya tak bisa diam selagi terdapat kezaliman yang tampak di depan matanya. Ia rela menghadapi segala resiko atas kegigihannya menegakkan al-haq. []