Oleh: Amma Muiza
Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Sosial dan Keluarga
amma.muiza@gmail.com
TIUP terompet, pesta kembang api, panggung musik dan berbagai hiburan khas awal tahun. Dibelahan bumi manapun, kita temukan tahun baru tidak pernah sepi dari perayaan.
Sebuah perayaan diiringi kegembiraan yang membuncah. Penuh tawa. Euforia. Seolah malam itu siapapun berhak bebas berbahagia. Semau dirinya.
Buah Hedonisme
Perayaan tahun baru tidak lepas dari budaya khas hedonisme. Hedonisme sudah jadi tren gaya hidup pilihan masyarakat Urban. Tak terkecuali, selebrasi tahun baru punya nafas hedonis yang kental. Buah hedonisme dapat kita rasakan sesadar-sadarnya.
BACA JUGA: Perayaan Tahun Baru di Tengah Bencana
Gaya hidup konsumtif tampak menonjol di awal tahun. Betapa banyak kocek yang harus dirogoh untuk menikmati pesta tahun baru. Penikmat pesta tahun baru tidak akan segan berbelanja, menyiapkan pernak-pernik pesta, hingga biaya akomodasi dan transportasi yang tidak sedikit.
Nuansa hedonistik lain tampak pada maraknya pesta musik, pesta narkoba dan miras, hingga pesta seks. KPAI menyatakan dalam tiga tahun terakhir, perayaan tahun baru didominasi dengan pesta seks dan narkoba. Dengan anak dan kaum muda sebagai peminatnya (pojok satu.com)
Akar Hedonisme
Hedonisme berasal dari kata Yunani, dengan akar kata Hedone yang berarti kesenangan. Sebuah pandangan hidup yang menganggap bahwa tujuan hidup ini adalah mencapai kebahagian sebesar-besarnya tanpa batas. Kenikmatan hidup menjadi target aktivitasnya. Disertai sedapat mungkin menghindari dari perasaan yang menyakitkan.
Ingin nikmat tak ingin melarat. Begitulah ajaran hedonisme. Tak peduli sekitar, atas kesenangan yang diperoleh. Tak heran, sikap yang lahir dari hedonisme berupa individualis, konsumtif, egois, pemalas, boros, hingga koruptif.
Pandangan Hedonisme muncul dari filsafat Yunani, saat Socrates mempertanyakan hal filsafatis. Apa tujuan akhir hidup manusia sebenarnya. Hedonisme muncul sebagai jawaban tersebut.
Budaya Hedonisme tidak dikenal dalam berbagai ajaran agama. Ia adalah murni hasil pikir dari filsuf Yunani. Ia adalah kontra pikir dari ajaran Pencipta. Terlebih ajaran Islam. Islam adalah ajaran Ilahi, Allah SWT, yang paling manusiawi.
Budaya ini semakin mengental saat sekulerisme menjadi primadona. Sekulerisme, memisahkan agama dengan kehidupan. Menihilkan peran agama dalam berbagai urusan. Hedonisme, yang tidak mengenal batas-batas ilahiah dan mengesampingkan nilai agama, tumbuh subur di era sekuler.
Sekulerisme melahirkan kebebasan mutlak yaitu liberalisme. Kebebasan untuk mencapai kenikmatan. Ibarat kakak – adik yang tumbuh bersama. Walhasil, semakin hedonis seseorang, makin jauh pula ia dari dekapan agama.
Budaya hedonisme juga tidak bisa lepas dari kapitalisme. Kapitalisme bahkan bisa diibaratkan sebagai induknya. Di era kapitalisme ini, para kapitalis akan berbuat apapun untuk meraup keuntungan. Budaya hedonis tercipta untuk meraih untung besar. Tak peduli dampak negatif yang tercipta.
Putus Siklus Hedonisme
Pusaran hedonisme seolah selalu menguat di awal tahun. Terus begitu seperti siklus. Berulang tak putus. Beragam bencana, derita saudara sebangsa, hingga duka saudara seiman di negara konflik, tidak juga memutus rantai hedonisme.
BACA JUGA: Generasi Latah
Selayaknya kita sadari, hedonisme yang melahirkan bangsa amoral tidak pantas tumbuh subur di Indonesia.
Beberapa upaya pemutus siklus ini dapat berupa:
1. Kesadaran individu akan agamanya. Kedekatan seorang dengan agama akan membantunya menjawab pertanyaan mendasar tentang tujuan hidup sebenarnya. Islam sebagai agama yang sempurna, mengajarkan hidup bahagia tanpa merusak hidup itu sendiri. Islam akan mengajarkan kebahagiaan hakiki yang dapat diperoleh tanpa harus menjalani budaya hedonis.
2. Kepedulian masyarakat akan lingkungannya.
Sikap hedonis bukanlah sikap yang tersembunyi. Dia dapat dilihat dan diamati oleh masyarakat. Jika masyarakat peduli dengan sekitarnya, menutup peluang maksiat yang menjadi sarang hedonisme. Tokoh masyarakatnya tidak takut menasihati sekitar. Maka, kontrol sosial yang tinggi dapat mengubah sikap hedonistik yang ada.
3. Peran Negara. Negara dapat membuat regulasi yang tegas, jika ingin. Mendahulukan keselamatan rakyat dari budaya nista ini daripada keuntungan materi yang tidak seberapa. Wallahu a’lam bi Shawab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.