TADI pagi badmood melanda. Feeling guilty tingkat dewa. Selama berangkat pengajian sampai separuh perjalanan pulang aku gak banyak bicara. Mungkin teman-temanku di mobil merasakan auranya hingga mereka pun gak banyak bercakap-cakap.
Akhirnya akupun bercerita kalau perasaanku lagi gak nyaman. Awalnya Altaf miss-komunikasi dengan ayahnya. Dia minta diantar ke sekolah, ditanggapi canda ayahnya. Dipikirnya ayahnya mau mengantarnya ke sekolah, sedang ayahnya menganggap dia tidak janji mengantar.
Jadi ketika ayahnya berangkat, ada anak berpipi tembem melakukan aksi bimoli (bibir monyong lima mili) sampai berujung butir kristal yang meleleh melintasi pipinya. Dia begitu bersikeras diantar ayahnya sekolah, hingga aku membujuknya berulang-ulang. Akhirnya kalimat lirihnya meluncur, “Adek kangen sama ayah.”
Ya, belakangan interaksi anak-anak sama ayahnya minim sekali. Kalau dihitung effektif tanpa terganggu TV, gadget, paling hanya 1 jam. Kadang, ayahnya pulang dia sudah tidur. Sedang shubuh, Altaf berlatih renang, lalu berangkat sekolah.
Di week end, ayahnya juga ngantor, kadang seharian juga. Kalaupun berkumpul itu pun masih terganggu telepon buat koordinasi kerjaan kantor atau berinteraksi dengan temannya di group medsos.
Tapi apapun kondisinya itu adalah hal yang harus disyukuri. Karena ayahnya pun telah berusaha keras melakukan quality time buat anak-anak. Tapi dengan kondisi yang seperti itu, aku pun memahami perasaan anak-anak dan sebisa mungkin memberikan pengertian normatif.
Akhirnya aku berhasil bujuk Altaf untuk kuantar ke sekolah, kami berbincang di jalan.
“Adek kangen ayah, ya?” tanyaku.
“Iya…” jawabnya singkat.
“Adek suka kangen Bubu juga enggak?”
“Iya…” jawabnya lagi.
“Tapi sekarang kan Bubu di rumah terus yaa… jadi adek kan gak perlu kangen lagi ya, dek,” kataku berusaha melucu.
“Adek suka kangen Bubu juga kalau inget Bubu di sekolah…” jawabnya polos.
Aku terdiam sesaat. So sweet.
“Terus dulu waktu Bubu kerja gimana dong?” tanyaku lagi.
“Dulu kangen terus, suka sedih kalau Bubu bilang mau pulang malam, atau Sabtu masuk. Sebenernya adek suka sedih kalau Bubu berangkat kerja …” jawabnya.
“Kok adek gak pernah ngomong?” tanyaku.
“Adek kan dulu kalau ditinggal Bubu kerja nangis… tapi kan Bubu tetap berangkat. Lama-lama juga adek bosen nangis. Adek juga berapa kali ditanya senengan Bubu kerja apa di rumah, adek jawab di rumah terus, tapi Bubu nya gak berhenti-berhenti kerja waktu itu.”
Ahh… tiba-tiba aja tercekat. Ternyata hatinya pernah terluka, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Berarti selama itu anakku bukan memahami dan memaklumi ibunya pergi meninggalkannya, ternyata itu titik kejenuhan memohon ibunya buat tidak pergi. Itu adalah bentuk kompromi dia terhadap aku bekerja.
Dan aku sendiri tidak pernah merasa bersalah dan menganggap itu semua hal yang lumrah. Lalu aku bangga dengan segala pencapaianku, merasa kehidupanku lebih berharga atas pencapaian-pencapaian aktualisasi diriku atas ilmu dan kemampuan yang kupunya sementara hati anakku ternyata terluka.
Ketika Altaf berpamitan akan turun dari mobil, kami berpelukan erat seolah enggan melepasnya.
Air mataku jatuh waktu bercerita sambil berkendara.
Sampai seorang temanku berkomentar…. “Er… aku selalu mendampingi anakku 24 jam sejak mereka lahir. Tapi itu bukan jaminan aku adalah ibu yang baik buat anak-anak, ibu yang gak pernah nyakitin dan ngecewain anak-anak. Bukan …” ujarnya. “Bukan jaminan kita 24 jam sama anak bahwa kita ibu yang terhebat. Buktinya banyak juga ibu yang kerja sukses didik anak-anaknya, walau ada juga yang failed. Banyak juga ibu yang 24 jam dengan anak tapi anak-anak mereka jadi sampah masyarakat walau sangat banyak juga yang sukses. Perjalanan kita sebagai orang tua masih panjang…”
Kami terdiam lama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Akhirnya aku berpikir bahwa kita gak pernah mengubah masa lalu. Tapi Allah kasih kesempatan hari ini dan InsyaAllah masa ke depan, gak akan ada gunanya menyesali yang sudah lewat. Mending sekarang mikir, gimana caranya kita jadiin anak kita anak-anak yang hebat. Gak usah pusingin berapa banyak waktu yang ada buat mereka, tapi berapa banyak yang bisa kita perbuat buat mereka di setiap waktu yang ada. []
DISCLAIMER: Tulisan ini secara ekslusif diberikan hak terbit kepada www.islampos.com. Semua jenis kopi tanpa izin akan diproses melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Kami mencantumkan pengumuman ini di rubrik Kolom Ernydar Irfan dikarenakan sudah banyak kejadian plagiarisme kolom ini di berbagai media sosial.