TAK banyak yang menyadari kalau empati punya energi yang begitu besar. Ada dua arah aliran energi yang terus mengalir. Pertama, aliran menuju dalam diri si orang yang berempati. Dan keluar, membiakkan energi baru yang menerima rasa empati tersebut.
Pengaru empati ke dalam diri yaitu memunculkan perasaan cukup. Ada rasa puas dengan anugerah Allah: baik yang sedikit, apalagi banyak. Perasaan inilah yang kian langka di dunia materialis. Semakin gigih orang mengejar kepuasan hidup, semakin kepuasan itu menjauh. Hidup menjadi ruangan yang menakutkan dan menggelisahkan.
BACA JUGA: Belajar Empati dari Kisah Abu Hurairah dan Satu Bejana Susu
Inilah rumus unik dari hati manusia. Semakin banyak aksi empati, kian menutup rasa tidak cukup. Mata air ketenangan diri pun kian deras mengalir, membasahi rongga-ronga hati yang sempat mengering.
Itu yang ke dalam. Pengaruh keluar adalah, hampir otomatis, empati yang tulus melahirkan simpati yang begitu besar. Kalau empati melahirkan energi ketenangan dan kepuasan, simpati membangkitkan energi harap atau optimisme. Dan dari simpati pula, bisa lahir energi pembelaan dan pengorbanan.
Sayangnya, empati bisa tercederai dengan lingkungan materialis. Empati jenis ini tidak gratis. Persis seperti empati yang diperlihatkan seorang sales. “Ada yang bisa kami bantu, Pak?” Kalau jawabannya ‘ya’, maka empati bisa berbalas uang.
BACA JUGA: Penghalang Lahirnya Sikap Empati
Tak beda dengan empati seperti itu, simpati pun bisa diolah mendapatkan keuntungan. Jangan heran jika sebagian pengemis di Jakarta bisa berpenghasilan jutaan dalam sebulan. Dalam cakupan yang lebih elit, pengolahan simpati yang apik bisa mengucurkan berbagai bantuan.
Kalau saja empati bisa terawat untuk tetap tulus, bersih; bukan cuma simpati penduduk bumi saja yang akan mengalir. Yang di langit pun memberikan yang lebih bernilai. “Kemurahan hati adalah dari kecemerlangan hati dan pemberian Allah. Bermurah hatilah, niscaya Allah bermurah hati kepadamu.” (HR. Athabrani). []