KITA mungkin pernah shalat berjamaah ketika imam sudah memulai shalat. Apakah itu kita datangnya pada pertengahan rakaat pertama, rakaat kedua dan seterusnya. Inilah yang disebut dengan shalat masbuk.
Dalam keseharian ada bermacam-macam cara orang shalat masbuk. Ada yang setelah takbiratul ihram, dia langsung mengikuti imam, apakah pada saat itu imam sedang sujud, sedang duduk antara dua sujud atau duduk tasyahud akhir. Ada juga yang menunggu imam berdiri dahulu untuk rakaat berikutnya.
Ada yang melihat situasi, kalau shalat belum hampir selesai dan imam belum tahyat akhir, maka ia menunggu dahulu imam berdiri, tapi kalau ternyata imam sudah tahyat akhir maka ia baru takbiratul ihram, kemudian mengikuti imam yang sedang tahyat akhir. Nah manakah cara shalat masbuk yang benar menurut aturan syariahnya?
BACA JUGA: Sengaja Tinggalkan Shalat 5 Waktu, Ini Ancamannya
Tata Cara Shalat Masbuk
Siapakah makmum masbuk?
Shalat masbuk sendiri dalam pengertian masyarakat awam adalah orang yang terlambat dalam mengikuti shalat fardhu berjamaah. Namun terlambat yang bagaimana? Ulama memiliki 2 (dua) pandangan.
Pendapat pertama yaitu pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut shalat masbuk itu apabila ia tertinggal ruku bersama imam.
Jika seorang makmum mendapati imam sedang ruku, kemudian ia ruku bersama imam, maka ia mendapatkan satu rakaat dan tidak disebut shalat masbuk. Dan gugurlah kewajiban membaca surat al-Fatihah. Dalil-dalil dari pendapat yang pertama adalah sebagai berikut:
“Siapa yang mendapatkan ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116).
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “ Apabila kamu datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu rak’at dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 145 ).
Jumhur Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’, maka yang mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu raka’at. (Al-Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145).
“Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk shlat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi SAW dalam keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda (kepadanya) : ‘Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi.”
Sedangkan pendapat kedua mengatakan kalau seseorang termasuk shalat masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan ulama.
Bagaimanakah seharusnya makmum masbuk?
Apakah harus menunggu imam berdiri dahulu, atau kalau imam sedang tahyat akhir, baru mengikuti gerakan imam yang tahyat, atau mengikuti pada posisi mana imam saat makmum masbuk tersebut memulai shalatnya.
BACA JUGA: Shalat Jumat adalah Hajinya Orang-orang Fakir, Benarkah?
Tata Cara Shalat Masbuk
Dalil Pertama:
Dari Abdul Aziz bin Rofi’ dari seorang laki-laki (yakni, Abdullah bin Mughoffal Al-Muzaniy) -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Jika kalian mendapati imam dalam keadaan berdiri atau ruku’, atau sujud, atau duduk, maka lakukanlah sebagaimana engkau mendapatinya. Janganlah engkau memperhitungkan sujudnya, jika engkau tak mendapati ruku’nya”.
[HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (2/281/no.3373), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (2/296/no. 3434), dan Al-Marwaziy dalam Masa’il Ahmad wa Ishaq (1/127/1) sebagaimana dalam Ash-Shohihah (1188)].
Faedah : Kata ( الرَّكْعَةَ ) bisa bermakna raka’at, dan bisa juga bermakna ruku’. Namun dalam riwayat hadits Abdullah bin Mughoffal ini, yang dimaksud adalah ruku’. Hal itu dikuatkan oleh riwayat lain dari jalur Abdul Aziz bin Rofi’ di sisi Al-Baihaqiy dari Abdullah bin Mughoffal -radhiyallahu ‘anhu-
Dalil kedua:
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Jika kalian datang, sedang imam ruku’, maka ruku’lah. Jika ia sujud, maka bersujudlah, dan jangan perhitungkan sujudnya, jika tak ada ruku’ yang bersamanya”. [HR. Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2/89/no.2409)]. []