Oleh: Newisha Alifa
KELAK, ketika kita menyebutkan, “Tsunami Selat Sunda 2018”, besar kemungkinan, ingatan kita pun akan memicu untuk berseru, atau sekadar berkata lirih, “Seventeen.”
Ya, tsunami kali ini seperti tak bisa dilepaskan kaitannya dengan salah satu band papan atas Indonesia itu.
Dramatis.
Sangat dramatis malah.
Dalam sekejap, suka cita, tawa canda, dentuman musik dengan volume maksi, berubah jadi tangis airmata, luka, dan duka cita tersebab hilangnya banyak nyawa karena peristiwa nahas ini.
BACA JUGA:Â Apoy: Bukan Seventeen atau Element yang Harusnya Manggung di Tanjung Lesung, tapi Wali
Meninggalnya beberapa selebriti dan keluarganya dalam musibah tsunami kali ini, barangkali jadi satu di antara banyak alasan, “Mengapa Tsunami Selat Sunda ini terasa berbeda dengan Tsunami Aceh dan Palu?”
Padahal jika dibandingkan dengan keduanya, Tsunami Selat Sunda ini terbilang tidak lebih dahsyat dan tidak memakan lebih banyak korban jiwa. Tapi rasanya kok dalem banget yaa?
Suka tidak suka.
Setuju tidak setuju.
Selebriti tetap punya daya tariknya sendiri. Mungkin itu mengapa, tidak sedikit partai yang mengusung calegnya dari kalangan selebriti.
Di sisi lain, gelombang hijrah para selebriti juga berhasil menyedot perhatian masyarakat. Kata ‘ngaji’ nggak lagi jadi sesuatu yang eksklusif dan berat. Tapi terasa lebih dekat, menyenangkan dan ringan untuk dijalani.
Saya sendiri bukan penggemar apalagi fans garis kerasnya Seventeen. Saya hanya sekadar cocok dengan beberapa lagu karya mereka. Cukup menikmati citarasa musik Ifan dkk yang memang punya ciri khas sendiri.
Itu saja.
Bahkan saya baru tahu ketiga nama personilnya selain Ifan, ya karena peristiwa Tsunami Selat Sunda ini.
Kebayang nggak, belasan tahun kerja bareng …
Sementara, kerja bareng belasan tahun itu bukan perkara mudah loh. Kalau nggak solid-solid amat, dan memang member-nya yang menyenangkan, nggak bakalan bisa Seventeen bertahan selama itu.
Tiba-tiba, tiga dari empat personilnya harus pergi selama-lamanya.
Barengan!
Tanpa pamit!
Cuma menyisakan satu orang saja; Ifan.
Misalnya, tersisa berdua aja deh, mungkin akan lain lagi ceritanya …
Beban yang ditanggungnya …
Lah ini tinggal sendirian! Semata wayang.
Belum cukup sampai di situ.
Istri yang amat sangat dicintai juga turut jadi korban.
Padahal rencana awalnya mau bikin kejutan buat Dylan yang keesokannya akan berulang-tahun. (Iya-iya, tahu dalam Islam nggak ada perayaan ulang tahun, tapi ini saya lagi cerita apa adanya. Masa fakta saya edit, sih?)
Alih-alih bikin kejutan yang membahagiakan buat satu orang saja, Subhanallah, yang dibuat terkejut dan berduka justeru se-Indonesia. Bahkan sampai ke luar negeri.
Kenapa? Mau protes lagi, karena situ ngerasa nggak ikutan berduka? Sana gih baca lagi buku Bahasa Indonesia-nya pas pelajaran Majas Totem Pro Parte sama Pars Pro Toto. Biar ngerti dulu, sebelum kebanyakan interupsi dan protes.
BACA JUGA:Â Ifan Seventeen: Allah Mengirim 3 Penyelamat Waktu Bencana Kemarin
Back to Seventeen dan Tsunami Selat Sunda …
Sekitar dua malam lalu, ibu saya pun berkomentar, “Iya yah. Kenapa tsunami kali ini kayaknya beda? Padahal nggak gede-gede amat kayak di Palu sama di Aceh. Mungkin karena kita kenal sama korbannya yah?”
Ya mungkin juga, memang itu rencana Allah. Sengaja memilih korbannya adalah para public figure terkenal. Mungkin supaya efeknya lebih terasa nyata. Apalagi buat orang-orang yang tinggal di sekitaran Jakarta, yang selama ini cuma nontonin berita Tsunami di seberang pulau, kayak di Aceh sama Palu.
Allah kayak mau ngasih unjuk ke kita,
“Bencana itu dekat! Kapan pun. Siapa pun. Dimana pun! Bisa jadi korban bencana. Nggak peduli dia rakyat jelata atau selebriti atau mungkin pemerintah. Semuanya bisa jadi korban.”
Sungguh rugi, kalo momentum bencana tsunami kali ini cuma jadi ajang penghakiman bagi para korban, bagi kita-kita yang masih dikasih kesempatan untuk berbenah diri.
Dan sungguh terlalu, jika banyak pihak yang justeru mengambil kesempatan di tengah kesempitan, dengan melakukan pencitraan atau sekadar saling menjatuhkan tindakan lawan politiknya.
Parah!
Mbok ya udah bencana bertubi-tubi gini, pinggirin dululah urusan-urusan begitu. Bersatulah!
Mungkin itu juga hikmah yang hendak Allah kirimkan bagi kita semua yang mau berpikir. Rabb semesta alam ini mau kita akur. Bersatu. Bukan terus-menerus terpecah-belah.
Rugi kalau begitu cara kita menyikapi tragedi ini.
Harusnya kita banyak merenung. Termasuk dengan ‘Drama Kehilangannya Keluarga Besar Seventeen ini’. Inilah drama kehidupan sesungguhnya. Yang Skenarionya langsung dibuat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ini tentang jangan berlebihan dalam bersuka cita. Sebab suka dan duka itu sejatinya saling menyertai.
Ini tentang jangan menunda taubat. Karena ajal tidak pernah menunggu akan menjemput kita di saat kita sudah taubat atau belum.
Ini tentang memahami bahwa nggak ada yang abadi di dunia ini. Entah itu pasangan, sahabat, pekerjaan, harta-benda.
Ini tentang kita semua yang cepat atau lambat, dengan cara yang wajar atau dramatis, pasti akan berpulang pada-Nya.
Ini tentang ingin seperti apa kita mati nanti? Sebab saya yakin, jika para korban tahu mereka akan mati, tentu di tepi pantai dan sedang menghibur orang lain, bukanlah kondisi yang siapapun inginkan untuk dijemput maut.
Kalau tahu akan mati, setiap orang beriman pasti akan sibuk berzikir, sholat, taubat, berlama-lama ibadah di masjid, sibuk memohon ampun, sibuk meminta dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka.
Termasuk kalau para netizen tahu, ajalnya sudah dekat. Nggak bakalan kita ini kepikiran ngurusin surga dan nerakanya orang lain. Karena udah kadung sibuk ngurusin nasib diri sendiri.
Doakan yang sudah pergi.
Doakan juga para korban selamat.
Doakan negeri ini agar selalu dijauhkan dari marabahaya.
Doa …
Doa …
Doa …
Wallahu A’lam Bisshowab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islamposcom, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.