PERTAMA, bagaimana dengan perempuan yang berkerudung menutup auratnya tapi tidak menjaga akhlaknya, bebas pacaran, bermesraan dan banyak disentuh, apalagi sudah tidak perawan? Maka jawabannya adalah: ia adalah “barang mahal” yang palsu aslinya murah bungkusnya pun murah (hanya simbol) sehingga gampang dibuka dan dicoba. Ia barang tipuan yang tanpa sadar sedang menipu dirinya sendiri.
Kedua, bagaimana dengan perempuan yang merasa tidak perlu menutup aurat yang penting bisa menjaga diri sehingga tetap menganggap dirinya perempuan terhormat? Jawabannya adalah: Kalau benar-benar bisa menjaga diri, ia adalah barang mahal yang diobral. Barang bagus yang diobral tetap saja lebih murah dan lebih rendah nilainya dari barang mahal yang tidak diobral.
Ketiga, bagaimana dengan perempuan yang mengatakan: “Ah, yang berkerudung juga banyak yang kelakuannya parah, mendingan begini, gak berkudung tapi punya prinsip”? Itu artinya menutupi keengganannya dengan kesalahan. Lain kata, lari dari satu kesalahan dan bersembunyi dalam kesalahan yang lain.
Keempat, bagaimana dengan perempuan yang berusaha mengutak-ngatik pengertian “aurat” dengan logikanya kemudian berkesimpulan menutup aurat itu tidak perlu? Maka ia adalah orang yang memaksan dan ‘memperkosa’ dirinya sendiri agar harganya murah.
Kelima, Bagaimana dengan perempuan dan laki-laki termasuk ulama yang ahli agama, ahli tafsir dan mengatakan menurup aurat itu tidak perlu (karena pengertian sebenarnya tentang aurat bukan yang secara konvensional difahami)? Maka sesungguhnya ia sedang melegitimasi penolakannya pada perintah Allah dan tuntunan Nabi atau melegitimasi penolakannya dengan ilmu agamanya sendiri (ini paling ironis dan paling berat pertanggungjawabannya kelak). []